Posted by : Kevin kevin
Minggu, 21 Desember 2014
"... Dan memorimu akan menjadi
gantinya"
Aku sudah tak sabar untuk menjalani
sidang ini; tahun ini aku akan wisuda! Kusisir rambutku, tak lupa kuminyaki.
Kupakai minyak wangi dan deodoran, entah kapan terakhir kali kupakai kedua
benda itu.Tentu saja jaket favoritku yang kukenakan hari ini. [baca lagi
dari awal]
•••
Aku terbangun, 'mimpi yang aneh' pikirku. Jam analog
menunjukkan pukul 10:56. Sidangku dimulai jam 02:00. Mungkin lebih baik aku
bersiap-siap.
Aku sudah tak sabar untuk menjalani sidang ini; tahun
ini aku akan wisuda! Kusisir rambutku, tak lupa kuminyaki. Kupakai minyak wangi
dan deodoran, entah kapan terakhir kali kupakai kedua benda itu.Tentu saja
jaket favoritku yang kukenakan hari ini.
Pintu kos aku tutup secara perlahan. Kuputuskan untuk
berjalan kaki daripada naik kendaraan umum, untuk menghabiskan waktu sekaligus
menghemat ongkos. Kulewati taman yang agak sepi sendirian. Pada jam segini,
orang-orang pasti sedang mencari makan di warung terdekat.
Ternyata aku salah, ada orang lain di taman ini.
Tergeletak, atau lebih tepatnya terbaring, di samping bangku taman. Segera
kuhampiri wanita itu dan mengecek urat nadinya, berdenyut tidak teratur namun
masih berpola. Dia pingsan, syukurlah masih hidup. Kukeluarkan minyak kayu
putih dan membuka jaketku, wanita ini memakai baju yang terlalu tipis! Segera
kupakaikan jaketku padanya.
"Nona, sadarlah!" Kuguncang tubuhnya pelan
lalu menampar wajahnya beberapa kali. Sempat terpikir olehku untuk membawanya
ke tempat yang lebih aman.Namun, kesadarannya sudah kembali.
"Nona, anda tidak apa-apa? Apa anda merasa mual?
Ada bagian yang sakit?" Kuperhatikan lagi wajahnya, ia cukup cantik
bagiku. Memiliki sepasang mata pheonix, tahi lalat di bawah mata kiri, hidung
yang cukup mancung, dan alis yang melengkung sempurna. Aku salah, wanita ini
bukan cukup cantik, ia terlewat cantik.
"Aku tidak apa-apa, hanya anemia" ucapnya
sambil berdiri.Dia mengucapkan terima kasih sekali lalu pergi begitu saja. Aku
masih tercengang akan hal itu. Belum sempat ku menjawabnya, wanita itu sudah
menghilang dari pandangan.
Aku yakin kalau tadi itu bukan sekedar anemia.Ya
sudahlah, siang ini agak dingin, dan aku harus segera ke kampus. Eh, dingin?
Oh, tuhan! Aku melupakan jaketku! Hendak kukejar wanita itu, namun tak jadi.
Aku memiliki firasat bahwa kami akan bertemu lagi.
Aku melanjutkan perjalanan.Angin bertiup menandakkan
datangnya musim hujan. Sial! Seharusnya aku meminta nomor HPnya! Sudahlah, yang
lalu biarlah berlalu. Yang harus kuhadapi sekarang adalah masa depan, dan
gerimis yang mulai menerjang
•••
Aku
terkena demam. Kupaksakan diriku untuk hadir saat wisuda. Hidungku memerah saat
menerima ijasah kedokteranku, Rektor mengira aku menangis. Dia berpidato sangat
lama, membuat kakiku gemetar lelah berdiri di panggung.Kuputuskan untuk melihat
ke seisi ruangan.
Beberapa
barisan depan diisi oleh para dosen dan orang-orang penting. Barisan
belakangnya dipenuhi oleh mahasiswa abadi. Keluarga mahasiswa dan masyarakat
umum mengisi bangku belakang.
Ada
sosok yang kukenal dibelakang sana, bukan keluargaku, mereka tidak akan datang.
Wanita itu berambut hitam sebahu dan ada tahi lalat dibawah mata kirinya.
Wanita itu! Dia berada di bangku belakang, ia bukan seorang mahasiswa.
Usai
pidato, Rektor menyalami kami lalu turun panggung, digantikan oleh Direktur
Yayasan. Aku mengalihkan perhatianku lagi kepada wanita itu. Dia tidak
menghadap ke depan, wajahnya menunduk seperti ingin menyembunyikan sesuatu.
Mungkin, dia menyadari bahwa aku memperhatikannya. Tanpa kusadari, pak Direktur
berulang kali melirik kearahku.
Para
Dosen dan petinggi menyalami kami setelahnya. Para mahasiswa berpelukan satu
sama lain. Namun, kuputuskan untuk melewati hal ini lalu mencari wanita itu.
"Danu!"
Pak Direktur memanggilku.
"Saya
pak?" dia mengangguk. Akupun jalan menghampirinya. Dia sepertinya sedang
berbincang dengan beberapa orang penting.
"Ini
anak yang kubicarakan waktu itu.Namanya Danu Konta Wijaya" dia
memperkenalkan diriku pada mereka. Entah apa yang dipikirkan kakekku saat
memberiku nama ini.
Konta
Wijayadanu adalah nama sebuah tombak di dunia pewayangan. Itu adalah
satu-satunya tombak yang dapat melukai sang pahlawan Pringgandani, Prabu
Gatotkaca. Meskipun jarang orang memanggilnya begitu.
Aku
tak terlalu mengikuti pembicaraan ini. Namun, beberapa hal hebat baru saja
terjadi padaku.
Terdapat
kesepakatan antara kampusku dan sebuah Rumah Sakit Central di kota. Setiap
tahunnya, kampus kami akan mengirim satu sampai dua sarjana kedokteran untuk
magang disana selama beberapa bulan. Pemilihannya dilakukan secara rahasia
bahkan dari calon dokter itu sendiri. Dan tahun ini, aku sendirilah yang
direkomendasikan oleh yayasan!
Impianku
ternyata lebih dekat dari yang kuduga. Kulihat kursi tempat wanita itu
sebelumnya berada, dia sudah pergi lagi.
•••
“Mohon
bantuannya!” aku memperkenalkan diri didepan senior-seniorku. Mereka adalah
dokter-dokter yang sudah menyelamatkan banyak nyawa, dan sebentar lagi aku akan
berdiri sejajar dengan mereka!
“Iya,
ya.Sekarang kau boleh duduk di mejamu, anak baru” yang baru saja berbicara
adalah Dr. Renu Rinaldi, dokter senior 2 tahun lebih tua dariku. Ia juga
dulunya dokter magang dari kampusku.
“Hey, jangan
seperti itu kepadanya! Dia itu sama sepertimu, kau tahu” balas seorang wanita
disampingnya. Wanita itu memiliki rambut coklat yang bergelombang. Dialah Dr.
Putri Riska Oktaviani, kepala divisi kami. Sangat muda untuk menjadi seorang
ketua divisi.
“Kau boleh
melihat-lihat rumah sakit untuk hari pertamamu” lanjutnya lagi. “aku sendiri
yang akan memandumu. Dan tolong panggil aku Vani, aku tidak terlalu suka
senioritas” ucapnya sambil tersenyum.
Dr. Vani
memberitahuku asrama tempat tinggalku untuk beberapa bulan kedepan, namun aku
berniat untuk menyewa sebuah kosan yang dekat dengan Rumah Sakit. Ia
memberitahuku letak kamar VIP yang hanya dihuni oleh orang-orang kaya.
“Pilihlah satu
kamar, kau boleh melihat isinya” ucapnya.
“Benarkah?
Bukankah itu akan mengganggu mereka?”
“Kau ini
seorang dokter, tentu saja boleh” akupun memilih satu kamar secara acak, atau
lebih tepatnya, mengikuti suara hatiku. Kubuka pintu kamar tersebut dengan
pelan.
“Permisi”
ucapku. Kuamati sekeliling kamar dengan seksama. Kamar VIP berbeda jauh dari
kamar-kamar pasien lainnya.Terdapat sebuah kulkas kecil, sofa, meja tamu, kamar
mandi yang megah, dan dindingnya dicat dengan warna yang elegan. Namun, bukan
itu yang menarik perhatianku, melainkan pasien yang sedang duduk menatap keluar
jendela. Dia memiliki rambut pendek sebahu dan berkulit putih pucat. Wanita
itu!
Aku kaget
melihatnya ada disana. Sudah kuduga, pakaian tipis yang dikenakannya pada hari
itu adalah pakaian seorang pasien rumah sakit. Kutebak, dia tak mungkin
menderita ‘hanya anemia’.
“Kau mengenalnya?”
tanya Dr. Vani.
“Tidak
terlalu” balasku, sepertinya Dr. Vani sangat mengenal wanita itu “kami hanya
kebetulan bertemu, walaupun aku yakin dia takkan mengingatku sama sekali. Apa
anda mengenalnya?”
“Iya” ucapnya
“dia adalah sahabatku” Dr. Vani menatapku lamat-lamat. “Kalau kau tertarik, aku
akan menceritakanmu tentang dia”
“Apakah
boleh?” tanyaku.
“Dia takkan
keberatan” ia tersenyum. Kulirik lagi wanita itu dengan seksama.
“Baiklah,
beritahu aku”
•••
“Namanya Lita
Oktavenica. Umurnya beberapa tahun lebih muda darimu. Orang yang ceria, penuh
energi, jalinan pertemanannya sangat luas. Ia begitu enjoy menjalani hidup” Dr.
Vani menunjukkan beberapa foto di laptopnya. Disana terlihat jelas senyuman
yang begitu indah pernah bersinggah di bibirnya. Membuktikan bagaimana ia
begitu hidup menjalani dunia.
“Setahun yang
lalu, ia divonis mengidap suatu penyakit yang begitu mengerikan. Tak seperti
biasanya, ia menyerah. Senyuman tak lagi di bibirnya. Sosial tak lagi di
hadirinya. Perlahan, semua orang meninggalkannya. Akulah yang merekomendasikan
agar dia dirawat di rumah sakit ini, agar aku bisa membuatnya tersenyum lagi”
Laptopnya kini aku yang memegang, sedangkan Dr. Vani terus saja bercerita.
Entah perasaan
apa yang bertahta di dadaku sekarang. Setiap kali senyumannya terlihat, nafasku
terasa sesak dan kakiku terasa gemetar, bukan karena takut, entah karena apa.
Bertambah satu alasanku ingin menapaki jalan kedokteran; mengembalikan
senyumnya.
“Kau tahu, aku
tak peduli siapa yang dapat membuatnya bahagia.Yang penting, aku tak ingin
melihatnya menderita lebih jauh lagi” Dr. Vani kemudian menutup laptopnya lalu
beranjak pergi.
“Tunggu”
ucapku. Diapun berhenti lalu menengok ke arahku.“Siapa dokter yang bertanggung
jawab atas Lita?” tanyaku penuh harap. Dr. Vani melihat mataku dalam-dalam,
lalu tersenyum.
“Kau harus
bekerja lebih giat kalau ingin mengambil alihnya dariku, kau tahu” diapun pergi
meninggalkanku begitu saja.
•••
Beberapa bulan
ini aku sudah berkali-kali mejenguk Lita dikamarnya. Sudah berkali-kali juga
aku mencoba berbicara dengannya. Walau begitu, ia tetap saja tidak
menghiraukanku. Makannya tak pernah habis. Ia pun jarang beraktifitas. Kesehariannya
hanya dihabiskan untuk memandang langit biru, atau mungkin pantulan dirinya di
jendela.
Ketika sudah
habis masa magangku, kuputuskan untuk melanjutkan karir di Rumah Sakit yang
sama. Memasuki Divisi yang sama juga. Dan bekerja jauh lebih giat lagi.
“Telima kacih
paman” pasien kamar 152 berterima kasih padaku setelah kuberi pasta gigi
berrasa buah. [info : terkadang habis operasi, pasien dilarang memakan makanan
ber-rasa. Karena itulah, pasta gigi adalah alternative yang terbaik untuk
anak-anak]
"Panggil
kakak saja” balasku. Jujur, aku agak merasa bersalah kepada mereka. Aku
tidaklah sepenuh hati merawatnya, tetapi dia tetap berterima kasih.
Begitu banyak
waktu yang kulewati demi mendapatkan Lita sebagai pasienku, masa-masa itu
jugalah masa-masa dimana aku terus menemuinya. Berusaha menghibur. Menarik
perhatian. Kukatakan pada diriku untuk tidak bertanya tentang dirinya. Sampai
suatu saat, dia melirikku sekali. Untuk pertama kalinya.
Aku seringkali
menghabiskan waktu hanya untuk bersama Lita. Seringkali juga dimarahi
karenanya. Dan, dia jugalah tempatku untuk bercurhat. Meskipun dia sangat
jarang merespon, yang penting, dia merasakan kehadiranku. Ia sudah melirikku
sekali. Meski sekali, aku yakin dia sudah mulai kembali menjadi dirinya yang
lama.
Berulang kali
aku meminta untuk mengambil alih Lita dari Dr. Vani. Berulang kali pula aku
mencoba untuk membuktikan bahwa aku pantas bagi Lita. Walau hasilnya hampir
nihil, bukan berarti tidak sama sekali.
Aku terus
mengunjungi Lita sesuai jadwal yang kubuat sendiri. Jika aku tidak sempat hadir
saat itu, maka akan diganti dilain waktu. Begitu terus sampai dia benar-benar
menyadariku. Hari ini, aku bercerita tentang gadis dari kamar 152. Dan seperti
biasa, ia sedang memperhatikan jendela.
“Dia itu gadis
kecil yang lucu. Pipinya merah merona. Hidungnya mungil seperti hidung kancil.
Suatu ketika, ada anak kecil datang menghampirinya…” aku terus menceritakan hal
itu kepada Lita. Yang dia lakukan hanyalah memperhatikan jendela, bukan lagi
langit, karena belakangan ini wajahnya tidak lagi mengadah keatas, tapi lurus
melihat entah apa didepan. Akupun terpikir akan sesuatu.
“… mereka
bertingkah seperti sepasang orang dewasa. Saling bergandengan tangan. Berciuman
di pipi, bahkan…” kuhentikan omonganku disini lalu memperhatikan lagi arah yang
dilihatnya. Bukan kedepan, namun pantulan di jendela. Benar saja, itu
wajahku.Lita selama ini selalu memperhatikan wajahku.
Aku tak bisa
menahan senyuman.Aku hampir tertawa geli mengetahui bahwa betapa bodohnya aku;
hal sekecil ini bahkan aku tak menyadarinya.Terpikir rencana yang cukup gila.
Aku
melanjutkan ceritaku.Hingga di suatu ketika, kusengajakan diriku jatuh ke
lantai. Cukup keras juga suaranya.
“Hei! Kau
tidak apa-apa” Lita menengok kearahku. Kepalanya menunduk untuk melihatku. Aku
tak bisa menahan tawaku sekarang. Benar2 tak bisa.
“K-kenapa kau
ketawa? Apa syaraf di kepalamu itu sudah rusak atau apa?” tanyanya yang
benar-benar cemas.
“Hahaha!
Maaf-maaf, hanya saja aku tak bisa menahan tawaku. Mengetahui kau selalu
melihatku seperti itu membuatku merasa geli” jawabku. “Namaku Danu, Danu Konta
Wijaya. Kupikir kita belum berkenalan sejak pertama bertemu, ya ‘kan?”
kuberikan tangan kananku padanya.
“Lita, Lita
Octavenica. Kuyakin kau sudah tahu namaku” jawabnya kesal. Aku tersenyum.
Sungguh pemandangan yang cukup aneh disini. Dikamar VIP nomor 480. Seorang
dokter jomblo dan seorang pasien cantik baru saja berkenalan setelah setahun
lebih bertemu.
Tanpa ada
seorangpun yang tahu, Riska Putri Oktaviani sedang tersenyum dikoridor.
Menguping perkenalan janggal tersebut.
•••
Kuhabiskan
waktuku di kamar Lita setiap harinya. Menceritakan hal-hali hebat maupun lucu. Dia
kini selalu melihatku, memperlihatkan wajahnya. Membuatku mengetahui berbagai
air wajahnya. Ketika ia sedang tertawa, kesal, menangis terharu, aku selalu
saja berhenti bercerita lalu menatap wajahnya dalam-dalam. Dia juga seringkali
marah kalau aku tidak menjenguknya sesuai jadwal.
Semakin sering
aku bertemu Lita, semakin aneh kerja jantungku. Berdetak begitu cepat hingga
aku takut akan melompat keluar. Membuatku terjaga sepanjang malam hanya demi
berbincang-bincang dengannya.
Dua bulan
setelah perkenalan kami, dia mulai menceritakan kisah hidupnya. Dia bercerita
tentang anak kecil yang dulu sering diajaknya main. Juga tentang burung merpati
yang dia lepas setelah mengobatinya. Namun, yang kuperhatikan hanyalah betapa
bersinarnya dia tersenyum.
Kian hari kian
ceria hidupnya. Kondisinya juga berubah ke arah yang positif. Mungkin dalam
beberapa minggu, Lita boleh keluar dari rumah sakit untuk pertama kalinya.
Segera kusampaikan kabar ini kepada Lita. Aku berjalan
melewati koridor sambil membayangkan senyum lebar yang akan menghiasi wajahnya.
‘kamar 480, kamar 480’ ulangku terus menerus dalam hati. Hingga sampai aku di
depan pintu kamar itu, aku terdiam gugup. Baiklah, aku akan membuka pintu ini.
Kubuka pintu putih itu lalu mengintip kedalam.
Kamar ini
kosong! Aku berlari masuk lalu mengecek ke kasur, masih berantakan. Kamar mandi
juga kosong. Aku yakin inilah kamar Lita, sikat gigiku masih berada di
wastafel. Kubuka tirai jendela yang menghalangi masuknya sinar matahari sore.
Kulihat dari
jendela kira2 dimana Lita berada. Dia pasti belum lama pergi. Kupandangi taman
di bawah jendela dengan seksama. Hingga kulihat ada seseorang sedang duduk di
rumput. Kepalanya mengadah menatap langit. Rambutnya yang mulai memanjang
terayun lembut tertiup angin. Wajahnya terlihat bercahaya terkena pantulan
sinar matahari. Lita terlihat sangat damai dibawah sana.
Aku berjalan
perlahan menghampiri, dia sepertinya tidak menyadari keberadaanku.
Kutempelkan kaleng Cola dingin ke pipinya, dia terlonjak kaget. Wajahnya sungguh
menggemaskan. Aku tak bisa menahan tawaku.
“Bisa kau
hentikan tawa bodohmu itu?” ucapnya kesal, ia memegangi pipinya yang baru saja
kuserang.
“Itu untuk
balas dendam kau tahu” jawabku. “Apa yang kau lakukan disini? Aku hampir mati
mengetahui kau tidak ada dikamarmu”
“Jadi kau
mengkhawatirkanku sekarang?” tanyanya lalu terdiam. ia sepertinya baru saja
sadar kalau aku selalu mengkhawatirkannya. “Lagi pula, kenapa kau disini? Apa
kau akan terus menghantuiku sampai akhir hayat?”
“Oh iya!
Hampir saja lupa” kehadirannya membuatku lupa “beberapa minggu lagi kau boleh
keluar dari Rumah sakit. Aku berpikir untuk mengajakmu jalan-jalan ke taman
yang pernah aku ceritakan” aku sudah menduga-duga ekspresi apa yang akan dia
tampakkan. Namun, ternyata bukan yang kuharapkan.
Wajahnya kini
terlihat murung, lebih murung dari sebelumnya. Iapun kembali menatap langit.
“Hei, ada apa?” tanyaku.
“Kemana aku
akan kembali sekarang” ucapnya. “Seluruh keluargaku sudah berada diatas sana.
Teman-temanku juga tak ada yang bisa membantu. Bagi mereka, aku hanyalah beban”
suaranya terdengar begitu jauh. Kini aku mengerti apa yang begitu memberatkan
hatinya.
Aku tersenyum.
“Ya, kau itu beban. Kau itu beban hidupku, kau tahu.” aku mencubit pipinya
pelan. Kupandangi langit luas diatas sana. “Bukankah sudah kubilang, datang
saja padaku. Kamarku itu khusus untuk dua orang” ucapku. Kualihkan tatapanku
dari langit kematanya. Dia menangis. Segera kutengokkan wajahku keatas.
Dia mengusap
air matanya lalu memukulku dengan keras. “Bodoh! Kau pikir kau itu superman
atau apa?” Dia berdiri lalu berjalan beberapa langkah. “Cepat bangun! Kalau aku
terkena demam, akan semakin lama aku bisa pulang!” dia berjalan dengan cepat.
Bisa kubayangkan wajahnya yang merah padam.
“Baiklah, mari
kita pulang” godaku. Aku berdiri lalu jalan menghampirinya. Kugeggam tangannya,
berniat untuk bercanda. Tak kusangka, dia menggenggam erat tanganku.
“Hangat”
gumamnya. Kubiarkan posisi kami tetap seperti ini, bukan berarti aku
membencinya. Ketika Dr. Vani lewat didepan kami, segera kami lepas lalu
memasukkannya kedalam saku.
Kamipun
menghabiskan beberapa minggu ini dengan terus membuat rencana. Mencari
referensi tempat-tempat yang bagus dikota. Memilih-milih barang yang harus
dibeli untuk keperluan Lita. Juga melihat-lihat baju yang akan kubelikan
untuknya, selama tiga tahun ini dia hanya memiliki dua setel baju. Begitu terus
hingga akhirnya hari yang dinanti datang.
Aku memasukkan
baju Lita kedalam sebuah koper, bersama dengan alat-alat kecil lainnya.
Kuperhatikan lagi sekeliling kamar dengan seksama. Kasur besar itu sudah
dibereskan. Sampah-lama sudah dibuang. Namun perasaan yang tertinggal dikamar
ini entah bagaimana tak sirna. Aku tidak boleh berlama-lama disini, Lita sudah
menunggu di koridor.
Sebelum pergi,
Lita dan aku pamit ke Dr. Vani. Kami berterima kasih atas jasa-jasanya, bahkan
sampai akhir aku tak bisa menjadi dokternya Lita.
"Jangan
bermuka sedih seperti itu" Dr. Vani menghiburku "walaupun Lita bukan pasienmu,
kini dia akan terus bersamamu 'kan? Kau harus berjanji untuk terus
bersamanya"
"Apa
sih!" Lita memukulnya cukup keras. Aku hanya bisa tertawa.
Hari sudah
menjelang sore. Jalanan mulai sepi, aku memilih untuk lewat jalan yang agak
memutar. Lita masih marah dengan ucapan Dr. Vani, namun tangannya dan tanganku
berkait dengan rapat. sepertinya, itu agak menghiburnya.
Lampu lalu
lintas terlihat jelas menyala merah. Jalanan kosong seperti benar-benar tak ada
kendaraan didunia. Lita melangkah dengan santai menyebrangi jalan, sedangkan
aku hanya terdiam di pinggir jalan. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di
pikiranku. Seperti merasakan Deja vu berkali-kali.
"Hey, ada
apa?" tanyanya. Dia berhenti di tengah jalan. Tanganku seketika itu juga
terasa basah oleh keringat. Ada apa ini sebenarnya? "Heei!"
"Aku tak
apa!" jawabku bohong. Lita seperti ingin membalas jawabanku, namun
suaranya tertutupi oleh klakson yang panjang. Langsung kusadari, sebuah Truk
berada beberapa meter disampingnya, hendak merenggut nyawanya!
•••
Kesadaranku berada pada puncaknya, setiap detik terasa
bagai berjam-jam. Kujatuhkan koper Lita. Menumpukan seluruh berat badanku ke
kaki belakang. Mendorongnya sekuat tenaga. Menjadikan trotoar sebagai batu
pijakan. Lalu mulai berlari.
Yang kulihat hanyalah jarak antara Lita dan mobil itu
yang semakin menipis. Kuperkuat dorongan di setiap langkahku. Saat tanganku
berhasil menggapainya, kuhempaskan dia ke sisi jalan dengan kuat.
Dia melayang cukup jauh kedepan, sepertinya doronganku
terlalu kuat. Cahaya lampu mobil itu membutakanku sejenak, namun, masih
terlihat bayangan Lita didepan. Dia mendarat dengan kepala di trotoar, tidak
sadarkan diri. Shock, kurasa.
Lampu mobil itu bersinar terlalu terang, cahayanya
mulai menutupi semua warna yang kulihat. Hingga benar-benar putih. Aku
terpelanting kesamping, kedepan menurut arah Truk itu. Kepalaku pecah. Tulang
rusukku patah, terutama bagian kiri tubuhku. Beberapa mungkin ada yang menusuk
paru-paru. Tulang bahu kananku hancur menahan tubuhku. Namun, aku masih hidup.
Itulah yang kurasakan.
Seluruh tenagaku kembali. Akupun berusaha mencari
pertolongan.
Aku berdiri lalu berteriak meminta tolong. Tapi, yang
membalas hanyalah gema. Aku mencoba untuk berjalan, seluruh tubuhku kembali
pulih secara perlahan. Kuteriakkan nama Lita berkali-kali, hanya gema yang
menjawab.
Aku mulai mempertanyakan dimana ini sebenarnya.
Berusaha meyakinkan diri bahwa aku masih hidup. Terus menerus kupanggil nama
Lita, berharap ada yang menjawabku.
"Dia takkan mendengarmu, kau tahu itu"
seseorang menjawabku. Suaranya sangat familiar ditelinga. Kupalingkan wajahku
berkali-kali mencarinya.
"Siapa kau?" Aku terus saja mencarinya.
Ruangan ini begitu putih, begitu kosong, begitu luas. Tak ada apapun disini.
"SIAPA KAU?"
"Kau yakin tidak mengenalku?" Suara itu
berasal dari belakang. Segera kuputar tubuhku untuk melihatnya. "Kita baru
saja bertemu beberapa waktu yang lalu dan kau sudah melupakanku? Bagaimana
kalau aku bertugas keluar kota?" Dr. Vani berjalan ke arahku dengan
santai. Dia masih mengenakan Jas dokter yang tadi dipakainya. Tangannya
dimasukkan dalam-dalam ke saku.
Dr. Vani tersenyum seakan tidak terjadi apa-apa. Dia
melihatku dengan tatapan yang sangat bersahabat. Aku tak bisa berkata-kata.
Kukumpulkan segenap keberanian lalu menelan ludah.
"Dimana aku?" Aku bertanya dengan suara yang
bergetar.
"Kau tahu jawabannya" dia menjawab dengan
singkat. Kukumpulkan lagi keberanianku.
"Apakah aku sudah mati? Kenapa aku berada disini?
Siapa kau sebenarnya?"
"Kau tahu jawaban dari semua itu" dia terus
menatapku, mengharapkan sebuah pertanyaan yang sebenarnya terus saja
mengganggu.
"Untuk apa kau disini?" Kali ini, dia
tersenyum. Dia berjalan melewatiku lalu berhenti.
"Aku disini untuk menepati janji yang sudah kuucapkan" dia lalu mengeluarkan sebuah jam saku perak dari kantungnya. "Bukankah sudah kubilang, jika kau harus selalu hadir untuk Lita?" Aku terdiam
"Aku disini untuk menepati janji yang sudah kuucapkan" dia lalu mengeluarkan sebuah jam saku perak dari kantungnya. "Bukankah sudah kubilang, jika kau harus selalu hadir untuk Lita?" Aku terdiam
"Danu, akan kutanyakan padamu, jika kau memiliki
kesempatan untuk kembali bersama dengannya, apa yang akan kau lakukan?
Mengambilnya, atau menolaknya?" Dia terlihat sangat serius. Tentu saja,
perkataan seorang Guardian Angel tak bisa diragukan.
"Apakah ada bayarannya" tanyaku ragu.
"Tentu saja" dia terdiam "aku akan
memutar balikkan waktu. Membuat semuanya kembali seperti semula, dan memorimu
akan menjadi gantinya. Atau lebih tepatnya, memori setiap orang"
jelasnya.
Aku berpikir dengan keras, cukup satu kata dan aku
bisa bersama Lita. Bisa melihat senyumnya lagi, mata pheonixnya, bulu matanya,
alis sempurnanya, dirinya. Kulirik Vani sekali lagi, meminta keberanian.
"Cepatlah, waktu terus berjalan" ucapnya
yang mulai gelisah. Yang perlu kukatakan hanya satu kata, satu kata.
"Ya" saat itulah, dunia menggelap.
•••
Aku terbangun, 'mimpi yang aneh' pikirku. Jam analog
menunjukkan pukul 10:56. Sidangku dimulai jam 02:00. Mungkin lebih baik aku
bersiap-siap.
Related Posts :
- Back to Home »
- Cerpen , Endless Dream , Indonesian , Romance »
- The Loop aka Endless Dream