Posted by : Kevin kevin Minggu, 21 Desember 2014



"... Dan memorimu akan menjadi gantinya"

•••

Aku terbangun, 'mimpi yang aneh' pikirku. Jam analog menunjukkan pukul 10:56. Sidangku dimulai jam 02:00. Mungkin lebih baik aku bersiap-siap.

Aku sudah tak sabar untuk menjalani sidang ini; tahun ini aku akan wisuda! Kusisir rambutku, tak lupa kuminyaki. Kupakai minyak wangi dan deodoran, entah kapan terakhir kali kupakai kedua benda itu.Tentu saja jaket favoritku yang kukenakan hari ini. 

Pintu kos aku tutup secara perlahan. Kuputuskan untuk berjalan kaki daripada naik kendaraan umum, untuk menghabiskan waktu sekaligus menghemat ongkos. Kulewati taman yang agak sepi sendirian. Pada jam segini, orang-orang pasti sedang mencari makan di warung terdekat.

Ternyata aku salah, ada orang lain di taman ini. Tergeletak, atau lebih tepatnya terbaring, di samping bangku taman. Segera kuhampiri wanita itu dan mengecek urat nadinya, berdenyut tidak teratur namun masih berpola. Dia pingsan, syukurlah masih hidup. Kukeluarkan minyak kayu putih dan membuka jaketku, wanita ini memakai baju yang terlalu tipis! Segera kupakaikan jaketku padanya. 

"Nona, sadarlah!" Kuguncang tubuhnya pelan lalu menampar wajahnya beberapa kali. Sempat terpikir olehku untuk membawanya ke tempat yang lebih aman.Namun, kesadarannya sudah kembali. 

"Nona, anda tidak apa-apa? Apa anda merasa mual? Ada bagian yang sakit?" Kuperhatikan lagi wajahnya, ia cukup cantik bagiku. Memiliki sepasang mata pheonix, tahi lalat di bawah mata kiri, hidung yang cukup mancung, dan alis yang melengkung sempurna. Aku salah, wanita ini bukan cukup cantik, ia terlewat cantik. 

"Aku tidak apa-apa, hanya anemia" ucapnya sambil berdiri.Dia mengucapkan terima kasih sekali lalu pergi begitu saja. Aku masih tercengang akan hal itu. Belum sempat ku menjawabnya, wanita itu sudah menghilang dari pandangan. 

Aku yakin kalau tadi itu bukan sekedar anemia.Ya sudahlah, siang ini agak dingin, dan aku harus segera ke kampus. Eh, dingin? Oh, tuhan! Aku melupakan jaketku! Hendak kukejar wanita itu, namun tak jadi. Aku memiliki firasat bahwa kami akan bertemu lagi.

Aku melanjutkan perjalanan.Angin bertiup menandakkan datangnya musim hujan. Sial! Seharusnya aku meminta nomor HPnya! Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Yang harus kuhadapi sekarang adalah masa depan, dan gerimis yang mulai menerjang

•••

Aku terkena demam. Kupaksakan diriku untuk hadir saat wisuda. Hidungku memerah saat menerima ijasah kedokteranku, Rektor mengira aku menangis. Dia berpidato sangat lama, membuat kakiku gemetar lelah berdiri di panggung.Kuputuskan untuk melihat ke seisi ruangan. 

Beberapa barisan depan diisi oleh para dosen dan orang-orang penting. Barisan belakangnya dipenuhi oleh mahasiswa abadi. Keluarga mahasiswa dan masyarakat umum mengisi bangku belakang. 

Ada sosok yang kukenal dibelakang sana, bukan keluargaku, mereka tidak akan datang. Wanita itu berambut hitam sebahu dan ada tahi lalat dibawah mata kirinya. Wanita itu! Dia berada di bangku belakang, ia bukan seorang mahasiswa. 

Usai pidato, Rektor menyalami kami lalu turun panggung, digantikan oleh Direktur Yayasan. Aku mengalihkan perhatianku lagi kepada wanita itu. Dia tidak menghadap ke depan, wajahnya menunduk seperti ingin menyembunyikan sesuatu. Mungkin, dia menyadari bahwa aku memperhatikannya. Tanpa kusadari, pak Direktur berulang kali melirik kearahku.

Para Dosen dan petinggi menyalami kami setelahnya. Para mahasiswa berpelukan satu sama lain. Namun, kuputuskan untuk melewati hal ini lalu mencari wanita itu.

"Danu!" Pak Direktur memanggilku.

"Saya pak?" dia mengangguk. Akupun jalan menghampirinya. Dia sepertinya sedang berbincang dengan beberapa orang penting. 

"Ini anak yang kubicarakan waktu itu.Namanya Danu Konta Wijaya" dia memperkenalkan diriku pada mereka. Entah apa yang dipikirkan kakekku saat memberiku nama ini.

Konta Wijayadanu adalah nama sebuah tombak di dunia pewayangan. Itu adalah satu-satunya tombak yang dapat melukai sang pahlawan Pringgandani, Prabu Gatotkaca. Meskipun jarang orang memanggilnya begitu. 

Aku tak terlalu mengikuti pembicaraan ini. Namun, beberapa hal hebat baru saja terjadi padaku.

Terdapat kesepakatan antara kampusku dan sebuah Rumah Sakit Central di kota. Setiap tahunnya, kampus kami akan mengirim satu sampai dua sarjana kedokteran untuk magang disana selama beberapa bulan. Pemilihannya dilakukan secara rahasia bahkan dari calon dokter itu sendiri. Dan tahun ini, aku sendirilah yang direkomendasikan oleh yayasan!

Impianku ternyata lebih dekat dari yang kuduga. Kulihat kursi tempat wanita itu sebelumnya berada, dia sudah pergi lagi.

•••

“Mohon bantuannya!” aku memperkenalkan diri didepan senior-seniorku. Mereka adalah dokter-dokter yang sudah menyelamatkan banyak nyawa, dan sebentar lagi aku akan berdiri sejajar dengan mereka!

“Iya, ya.Sekarang kau boleh duduk di mejamu, anak baru” yang baru saja berbicara adalah Dr. Renu Rinaldi, dokter senior 2 tahun lebih tua dariku. Ia juga dulunya dokter magang dari kampusku.

“Hey, jangan seperti itu kepadanya! Dia itu sama sepertimu, kau tahu” balas seorang wanita disampingnya. Wanita itu memiliki rambut coklat yang bergelombang. Dialah Dr. Putri Riska Oktaviani, kepala divisi kami. Sangat muda untuk menjadi seorang ketua divisi.

“Kau boleh melihat-lihat rumah sakit untuk hari pertamamu” lanjutnya lagi. “aku sendiri yang akan memandumu. Dan tolong panggil aku Vani, aku tidak terlalu suka senioritas” ucapnya sambil tersenyum.

Dr. Vani memberitahuku asrama tempat tinggalku untuk beberapa bulan kedepan, namun aku berniat untuk menyewa sebuah kosan yang dekat dengan Rumah Sakit. Ia memberitahuku letak kamar VIP yang hanya dihuni oleh orang-orang kaya.

“Pilihlah satu kamar, kau boleh melihat isinya” ucapnya.

“Benarkah? Bukankah itu akan mengganggu mereka?”

“Kau ini seorang dokter, tentu saja boleh” akupun memilih satu kamar secara acak, atau lebih tepatnya, mengikuti suara hatiku. Kubuka pintu kamar tersebut dengan pelan.

“Permisi” ucapku. Kuamati sekeliling kamar dengan seksama. Kamar VIP berbeda jauh dari kamar-kamar pasien lainnya.Terdapat sebuah kulkas kecil, sofa, meja tamu, kamar mandi yang megah, dan dindingnya dicat dengan warna yang elegan. Namun, bukan itu yang menarik perhatianku, melainkan pasien yang sedang duduk menatap keluar jendela. Dia memiliki rambut pendek sebahu dan berkulit putih pucat. Wanita itu!

Aku kaget melihatnya ada disana. Sudah kuduga, pakaian tipis yang dikenakannya pada hari itu adalah pakaian seorang pasien rumah sakit. Kutebak, dia tak mungkin menderita ‘hanya anemia’.

“Kau mengenalnya?” tanya Dr. Vani.

“Tidak terlalu” balasku, sepertinya Dr. Vani sangat mengenal wanita itu “kami hanya kebetulan bertemu, walaupun aku yakin dia takkan mengingatku sama sekali. Apa anda mengenalnya?”

“Iya” ucapnya “dia adalah sahabatku” Dr. Vani menatapku lamat-lamat. “Kalau kau tertarik, aku akan menceritakanmu tentang dia”

“Apakah boleh?” tanyaku.

“Dia takkan keberatan” ia tersenyum. Kulirik lagi wanita itu dengan seksama.

“Baiklah, beritahu aku”

•••

“Namanya Lita Oktavenica. Umurnya beberapa tahun lebih muda darimu. Orang yang ceria, penuh energi, jalinan pertemanannya sangat luas. Ia begitu enjoy menjalani hidup” Dr. Vani menunjukkan beberapa foto di laptopnya. Disana terlihat jelas senyuman yang begitu indah pernah bersinggah di bibirnya. Membuktikan bagaimana ia begitu hidup menjalani dunia.

“Setahun yang lalu, ia divonis mengidap suatu penyakit yang begitu mengerikan. Tak seperti biasanya, ia menyerah. Senyuman tak lagi di bibirnya. Sosial tak lagi di hadirinya. Perlahan, semua orang meninggalkannya. Akulah yang merekomendasikan agar dia dirawat di rumah sakit ini, agar aku bisa membuatnya tersenyum lagi” Laptopnya kini aku yang memegang, sedangkan Dr. Vani terus saja bercerita.

Entah perasaan apa yang bertahta di dadaku sekarang. Setiap kali senyumannya terlihat, nafasku terasa sesak dan kakiku terasa gemetar, bukan karena takut, entah karena apa. Bertambah satu alasanku ingin menapaki jalan kedokteran; mengembalikan senyumnya.

“Kau tahu, aku tak peduli siapa yang dapat membuatnya bahagia.Yang penting, aku tak ingin melihatnya menderita lebih jauh lagi” Dr. Vani kemudian menutup laptopnya lalu beranjak pergi.

“Tunggu” ucapku. Diapun berhenti lalu menengok ke arahku.“Siapa dokter yang bertanggung jawab atas Lita?” tanyaku penuh harap. Dr. Vani melihat mataku dalam-dalam, lalu tersenyum.

“Kau harus bekerja lebih giat kalau ingin mengambil alihnya dariku, kau tahu” diapun pergi meninggalkanku  begitu saja.

•••

Beberapa bulan ini aku sudah berkali-kali mejenguk Lita dikamarnya. Sudah berkali-kali juga aku mencoba berbicara dengannya. Walau begitu, ia tetap saja tidak menghiraukanku. Makannya tak pernah habis. Ia pun jarang beraktifitas. Kesehariannya hanya dihabiskan untuk memandang langit biru, atau mungkin pantulan dirinya di jendela.

Ketika sudah habis masa magangku, kuputuskan untuk melanjutkan karir di Rumah Sakit yang sama. Memasuki Divisi yang sama juga. Dan bekerja jauh lebih giat lagi.

“Telima kacih paman” pasien kamar 152 berterima kasih padaku setelah kuberi pasta gigi berrasa buah. [info : terkadang habis operasi, pasien dilarang memakan makanan ber-rasa. Karena itulah, pasta gigi adalah alternative yang terbaik untuk anak-anak]

"Panggil kakak saja” balasku. Jujur, aku agak merasa bersalah kepada mereka. Aku tidaklah sepenuh hati merawatnya, tetapi dia tetap berterima kasih.

Begitu banyak waktu yang kulewati demi mendapatkan Lita sebagai pasienku, masa-masa itu jugalah masa-masa dimana aku terus menemuinya. Berusaha menghibur. Menarik perhatian. Kukatakan pada diriku untuk tidak bertanya tentang dirinya. Sampai suatu saat, dia melirikku sekali. Untuk pertama kalinya.

Aku seringkali menghabiskan waktu hanya untuk bersama Lita. Seringkali juga dimarahi karenanya. Dan, dia jugalah tempatku untuk bercurhat. Meskipun dia sangat jarang merespon, yang penting, dia merasakan kehadiranku. Ia sudah melirikku sekali. Meski sekali, aku yakin dia sudah mulai kembali menjadi dirinya yang lama.

Berulang kali aku meminta untuk mengambil alih Lita dari Dr. Vani. Berulang kali pula aku mencoba untuk membuktikan bahwa aku pantas bagi Lita. Walau hasilnya hampir nihil, bukan berarti tidak sama sekali.

Aku terus mengunjungi Lita sesuai jadwal yang kubuat sendiri. Jika aku tidak sempat hadir saat itu, maka akan diganti dilain waktu. Begitu terus sampai dia benar-benar menyadariku. Hari ini, aku bercerita tentang gadis dari kamar 152. Dan seperti biasa, ia sedang memperhatikan jendela.

“Dia itu gadis kecil yang lucu. Pipinya merah merona. Hidungnya mungil seperti hidung kancil. Suatu ketika, ada anak kecil datang menghampirinya…” aku terus menceritakan hal itu kepada Lita. Yang dia lakukan hanyalah memperhatikan jendela, bukan lagi langit, karena belakangan ini wajahnya tidak lagi mengadah keatas, tapi lurus melihat entah apa didepan. Akupun terpikir akan sesuatu.

“… mereka bertingkah seperti sepasang orang dewasa. Saling bergandengan tangan. Berciuman di pipi, bahkan…” kuhentikan omonganku disini lalu memperhatikan lagi arah yang dilihatnya. Bukan kedepan, namun pantulan di jendela. Benar saja, itu wajahku.Lita selama ini selalu memperhatikan wajahku.

Aku tak bisa menahan senyuman.Aku hampir tertawa geli mengetahui bahwa betapa bodohnya aku; hal sekecil ini bahkan aku tak menyadarinya.Terpikir rencana yang cukup gila.

Aku melanjutkan ceritaku.Hingga di suatu ketika, kusengajakan diriku jatuh ke lantai. Cukup keras juga suaranya.

“Hei! Kau tidak apa-apa” Lita menengok kearahku. Kepalanya menunduk untuk melihatku. Aku tak bisa menahan tawaku sekarang. Benar2 tak bisa.

“K-kenapa kau ketawa? Apa syaraf di kepalamu itu sudah rusak atau apa?” tanyanya yang benar-benar cemas.

“Hahaha! Maaf-maaf, hanya saja aku tak bisa menahan tawaku. Mengetahui kau selalu melihatku seperti itu membuatku merasa geli” jawabku. “Namaku Danu, Danu Konta Wijaya. Kupikir kita belum berkenalan sejak pertama bertemu, ya ‘kan?” kuberikan tangan kananku padanya.

“Lita, Lita Octavenica. Kuyakin kau sudah tahu namaku” jawabnya kesal. Aku tersenyum. Sungguh pemandangan yang cukup aneh disini. Dikamar VIP nomor 480. Seorang dokter jomblo dan seorang pasien cantik baru saja berkenalan setelah setahun lebih bertemu.

Tanpa ada seorangpun yang tahu, Riska Putri Oktaviani sedang tersenyum dikoridor. Menguping perkenalan janggal tersebut.

•••

Kuhabiskan waktuku di kamar Lita setiap harinya. Menceritakan hal-hali hebat maupun lucu. Dia kini selalu melihatku, memperlihatkan wajahnya. Membuatku mengetahui berbagai air wajahnya. Ketika ia sedang tertawa, kesal, menangis terharu, aku selalu saja berhenti bercerita lalu menatap wajahnya dalam-dalam. Dia juga seringkali marah kalau aku tidak menjenguknya sesuai jadwal.

Semakin sering aku bertemu Lita, semakin aneh kerja jantungku. Berdetak begitu cepat hingga aku takut akan melompat keluar. Membuatku terjaga sepanjang malam hanya demi berbincang-bincang dengannya.

Dua bulan setelah perkenalan kami, dia mulai menceritakan kisah hidupnya. Dia bercerita tentang anak kecil yang dulu sering diajaknya main. Juga tentang burung merpati yang dia lepas setelah mengobatinya. Namun, yang kuperhatikan hanyalah betapa bersinarnya dia tersenyum.

Kian hari kian ceria hidupnya. Kondisinya juga berubah ke arah yang positif. Mungkin dalam beberapa minggu, Lita boleh keluar dari rumah sakit untuk pertama kalinya.

Segera kusampaikan kabar ini kepada Lita. Aku berjalan melewati koridor sambil membayangkan senyum lebar yang akan menghiasi wajahnya. ‘kamar 480, kamar 480’ ulangku terus menerus dalam hati. Hingga sampai aku di depan pintu kamar itu, aku terdiam gugup. Baiklah, aku akan membuka pintu ini. Kubuka pintu putih itu lalu mengintip kedalam.

Kamar ini kosong! Aku berlari masuk lalu mengecek ke kasur, masih berantakan. Kamar mandi juga kosong. Aku yakin inilah kamar Lita, sikat gigiku masih berada di wastafel. Kubuka tirai jendela yang menghalangi masuknya sinar matahari sore.

Kulihat dari jendela kira2 dimana Lita berada. Dia pasti belum lama pergi. Kupandangi taman di bawah jendela dengan seksama. Hingga kulihat ada seseorang sedang duduk di rumput. Kepalanya mengadah menatap langit. Rambutnya yang mulai memanjang terayun lembut tertiup angin. Wajahnya terlihat bercahaya terkena pantulan sinar matahari. Lita terlihat sangat damai dibawah sana.

Aku berjalan perlahan menghampiri, dia  sepertinya tidak menyadari keberadaanku. Kutempelkan kaleng Cola dingin ke pipinya, dia terlonjak kaget. Wajahnya sungguh menggemaskan. Aku tak bisa menahan tawaku.

“Bisa kau hentikan tawa bodohmu itu?” ucapnya kesal, ia memegangi pipinya yang baru saja kuserang.

“Itu untuk balas dendam kau tahu” jawabku. “Apa yang kau lakukan disini? Aku hampir mati mengetahui kau tidak ada dikamarmu”

“Jadi kau mengkhawatirkanku sekarang?” tanyanya lalu terdiam. ia sepertinya baru saja sadar kalau aku selalu mengkhawatirkannya. “Lagi pula, kenapa kau disini? Apa kau akan terus menghantuiku sampai akhir hayat?”

“Oh iya! Hampir saja lupa” kehadirannya membuatku lupa “beberapa minggu lagi kau boleh keluar dari Rumah sakit. Aku berpikir untuk mengajakmu jalan-jalan ke taman yang pernah aku ceritakan” aku sudah menduga-duga ekspresi apa yang akan dia tampakkan. Namun, ternyata bukan yang kuharapkan.

Wajahnya kini terlihat murung, lebih murung dari sebelumnya. Iapun kembali menatap langit. “Hei, ada apa?” tanyaku.

“Kemana aku akan kembali sekarang” ucapnya. “Seluruh keluargaku sudah berada diatas sana. Teman-temanku juga tak ada yang bisa membantu. Bagi mereka, aku hanyalah beban” suaranya terdengar begitu jauh. Kini aku mengerti apa yang begitu memberatkan hatinya.

Aku tersenyum. “Ya, kau itu beban. Kau itu beban hidupku, kau tahu.” aku mencubit pipinya pelan. Kupandangi langit luas diatas sana. “Bukankah sudah kubilang, datang saja padaku. Kamarku itu khusus untuk dua orang” ucapku. Kualihkan tatapanku dari langit kematanya. Dia menangis. Segera kutengokkan wajahku keatas.

Dia mengusap air matanya lalu memukulku dengan keras. “Bodoh! Kau pikir kau itu superman atau apa?” Dia berdiri lalu berjalan beberapa langkah. “Cepat bangun! Kalau aku terkena demam, akan semakin lama aku bisa pulang!” dia berjalan dengan cepat. Bisa kubayangkan wajahnya yang merah padam.

“Baiklah, mari kita pulang” godaku. Aku berdiri lalu jalan menghampirinya. Kugeggam tangannya, berniat untuk bercanda. Tak kusangka, dia menggenggam erat tanganku.

“Hangat” gumamnya. Kubiarkan posisi kami tetap seperti ini, bukan berarti aku membencinya. Ketika Dr. Vani lewat didepan kami, segera kami lepas lalu memasukkannya kedalam saku.

Kamipun menghabiskan beberapa minggu ini dengan terus membuat rencana. Mencari referensi tempat-tempat yang bagus dikota. Memilih-milih barang yang harus dibeli untuk keperluan Lita.  Juga melihat-lihat baju yang akan kubelikan untuknya, selama tiga tahun ini dia hanya memiliki dua setel baju. Begitu terus hingga akhirnya hari yang dinanti datang.

Aku memasukkan baju Lita kedalam sebuah koper, bersama dengan alat-alat kecil lainnya. Kuperhatikan lagi sekeliling kamar dengan seksama. Kasur besar itu sudah dibereskan. Sampah-lama sudah dibuang. Namun perasaan yang tertinggal dikamar ini entah bagaimana tak sirna. Aku tidak boleh berlama-lama disini, Lita sudah menunggu di koridor.

Sebelum pergi, Lita dan aku pamit ke Dr. Vani. Kami berterima kasih atas jasa-jasanya, bahkan sampai akhir aku tak bisa menjadi dokternya Lita.

"Jangan bermuka sedih seperti itu" Dr. Vani menghiburku "walaupun Lita bukan pasienmu, kini dia akan terus bersamamu 'kan? Kau harus berjanji untuk terus bersamanya"

"Apa sih!" Lita memukulnya cukup keras. Aku hanya bisa tertawa.

Hari sudah menjelang sore. Jalanan mulai sepi, aku memilih untuk lewat jalan yang agak memutar. Lita masih marah dengan ucapan Dr. Vani, namun tangannya dan tanganku berkait dengan rapat. sepertinya, itu agak menghiburnya.

Lampu lalu lintas terlihat jelas menyala merah. Jalanan kosong seperti benar-benar tak ada kendaraan didunia. Lita melangkah dengan santai menyebrangi jalan, sedangkan aku hanya terdiam di pinggir jalan. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di pikiranku. Seperti merasakan Deja vu berkali-kali.

"Hey, ada apa?" tanyanya. Dia berhenti di tengah jalan. Tanganku seketika itu juga terasa basah oleh keringat. Ada apa ini sebenarnya? "Heei!"

"Aku tak apa!" jawabku bohong. Lita seperti ingin membalas jawabanku, namun suaranya tertutupi oleh klakson yang panjang. Langsung kusadari, sebuah Truk berada beberapa meter disampingnya, hendak merenggut nyawanya!

•••

Kesadaranku berada pada puncaknya, setiap detik terasa bagai berjam-jam. Kujatuhkan koper Lita. Menumpukan seluruh berat badanku ke kaki belakang. Mendorongnya sekuat tenaga. Menjadikan trotoar sebagai batu pijakan. Lalu mulai berlari. 

Yang kulihat hanyalah jarak antara Lita dan mobil itu yang semakin menipis. Kuperkuat dorongan di setiap langkahku. Saat tanganku berhasil menggapainya, kuhempaskan dia ke sisi jalan dengan kuat.

Dia melayang cukup jauh kedepan, sepertinya doronganku terlalu kuat. Cahaya lampu mobil itu membutakanku sejenak, namun, masih terlihat bayangan Lita didepan. Dia mendarat dengan kepala di trotoar, tidak sadarkan diri. Shock, kurasa.

Lampu mobil itu bersinar terlalu terang, cahayanya mulai menutupi semua warna yang kulihat. Hingga benar-benar putih. Aku terpelanting kesamping, kedepan menurut arah Truk itu. Kepalaku pecah. Tulang rusukku patah, terutama bagian kiri tubuhku. Beberapa mungkin ada yang menusuk paru-paru. Tulang bahu kananku hancur menahan tubuhku. Namun, aku masih hidup. Itulah yang kurasakan. 

Seluruh tenagaku kembali. Akupun berusaha mencari pertolongan. 

Aku berdiri lalu berteriak meminta tolong. Tapi, yang membalas hanyalah gema. Aku mencoba untuk berjalan, seluruh tubuhku kembali pulih secara perlahan. Kuteriakkan nama Lita berkali-kali, hanya gema yang menjawab. 

Aku mulai mempertanyakan dimana ini sebenarnya. Berusaha meyakinkan diri bahwa aku masih hidup. Terus menerus kupanggil nama Lita, berharap ada yang menjawabku.

"Dia takkan mendengarmu, kau tahu itu" seseorang menjawabku. Suaranya sangat familiar ditelinga. Kupalingkan wajahku berkali-kali mencarinya.

"Siapa kau?" Aku terus saja mencarinya. Ruangan ini begitu putih, begitu kosong, begitu luas. Tak ada apapun disini. "SIAPA KAU?"

"Kau yakin tidak mengenalku?" Suara itu berasal dari belakang. Segera kuputar tubuhku untuk melihatnya. "Kita baru saja bertemu beberapa waktu yang lalu dan kau sudah melupakanku? Bagaimana kalau aku bertugas keluar kota?" Dr. Vani berjalan ke arahku dengan santai. Dia masih mengenakan Jas dokter yang tadi dipakainya. Tangannya dimasukkan dalam-dalam ke saku. 

Dr. Vani tersenyum seakan tidak terjadi apa-apa. Dia melihatku dengan tatapan yang sangat bersahabat. Aku tak bisa berkata-kata. Kukumpulkan segenap keberanian lalu menelan ludah. 

"Dimana aku?" Aku bertanya dengan suara yang bergetar. 

"Kau tahu jawabannya" dia menjawab dengan singkat. Kukumpulkan lagi keberanianku. 

"Apakah aku sudah mati? Kenapa aku berada disini? Siapa kau sebenarnya?"

"Kau tahu jawaban dari semua itu" dia terus menatapku, mengharapkan sebuah pertanyaan yang sebenarnya terus saja mengganggu.

"Untuk apa kau disini?" Kali ini, dia tersenyum. Dia berjalan melewatiku lalu berhenti.
"Aku disini untuk menepati janji yang sudah kuucapkan" dia lalu mengeluarkan sebuah jam saku perak dari kantungnya. "Bukankah sudah kubilang, jika kau harus selalu hadir untuk Lita?" Aku terdiam

"Danu, akan kutanyakan padamu, jika kau memiliki kesempatan untuk kembali bersama dengannya, apa yang akan kau lakukan? Mengambilnya, atau menolaknya?" Dia terlihat sangat serius. Tentu saja, perkataan seorang Guardian Angel tak bisa diragukan. 

"Apakah ada bayarannya" tanyaku ragu.

"Tentu saja" dia terdiam "aku akan memutar balikkan waktu. Membuat semuanya kembali seperti semula, dan memorimu akan menjadi gantinya. Atau lebih tepatnya, memori setiap orang" jelasnya. 

Aku berpikir dengan keras, cukup satu kata dan aku bisa bersama Lita. Bisa melihat senyumnya lagi, mata pheonixnya, bulu matanya, alis sempurnanya, dirinya. Kulirik Vani sekali lagi, meminta keberanian. 

"Cepatlah, waktu terus berjalan" ucapnya yang mulai gelisah. Yang perlu kukatakan hanya satu kata, satu kata.

"Ya" saat itulah, dunia menggelap.

•••

Aku terbangun, 'mimpi yang aneh' pikirku. Jam analog menunjukkan pukul 10:56. Sidangku dimulai jam 02:00. Mungkin lebih baik aku bersiap-siap.

Aku sudah tak sabar untuk menjalani sidang ini; tahun ini aku akan wisuda! Kusisir rambutku, tak lupa kuminyaki. Kupakai minyak wangi dan deodoran, entah kapan terakhir kali kupakai kedua benda itu.Tentu saja jaket favoritku yang kukenakan hari ini. [baca lagi dari awal]

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Popular Post

Chatango

Kontributor

Mabo and Gibo. Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Mabo and Gibo -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -