Tampilkan postingan dengan label Aftermath. Tampilkan semua postingan
•••
“…Na,
Sadarlah!” seseorang menampar pipiku berkali-kali. Apa yang sedang kulakukan
disini? Aku membuka mata lalu bangun untuk duduk. Aku berada di taman.
“Nona,
anda tidak apa-apa? Apa anda merasa mual? Ada bagian yang sakit?” pria ini
bertanya seolah dia mencemaskanku.
“aku tidak
apa-apa, hanya anemia” aku berdiri lalu membersihkan bajuku “terima kasih” aku
menundukkan kepalaku sedikit. Aku
berjalan menjauh pria itu.
Langit
terlihat agak mendung. Angin bertiup pelan. Namun, rasa dingin tidak juga
menyerangku. Setelah kuperhatikan lagi, aku sedang memakai sebuah jaket.
Mungkin jaket milik pria tadi. Apa perlu kukembalikan? Mungkin lain kali saja,
aku lebih membutuhkannya dari pada dia.
Aku
memasukkan tanganku dalam-dalam ke saku jaket. “Hangat” gumamku.
Hangat
Eh, aku
seperti pernah merasakan ini sebelumnya.
Hangat
Sebuah
bayangan berkelebat di pikiranku.
Hangat
Suaraku
terdengar berulang kali.
Hangat
Sebuah
kejadian, sebuah kenangan, aku mengalami Déjà vu berkali-kali. Ujung jariku
menyentuh sesuatu dari logam. Kuambil benda itu, sebuah jam saku perak.
Seketika itu juga, aku mengingat sesuatu. Berkali-kali.
Aku
mengingat dia menolongku. Aku mengingat dia menyapaku. Aku mengingat dia
bersamaku. Aku mengingat dia. Aku mengingat semuanya.
Segera
kubalikkan badanku. Kukejar Danu yang kutinggalkan begitu saja. Gerimis mulai
turun. Dia seharusnya belum pergi jauh.
Danu
sedang berjalan memunggungiku. Dia menyilangkan tangannya didada, mengigil
kedinginan. Segera kupeluk dirinya dengan erat.
“e-eh, ada
apa ini” dia menjadi gugup.
“tolong, biarkan untuk sebentar saja” pintaku.
“n-nona? K-kenapa anda memelukku? Apa ada bagian yang sakit?”
“Kumohon. Izinkan aku meminta darimu untuk terakhir kali ” Aku memeluknya semakin erat.
“M-maksudmu?” tentu saja, dia belum mengingatku. Aku tidak berkata
apa-apa lagi. Gerimis lama-lama berubah menjadi hujan. “N-nona, mungkin
kita harus mencari tempat berteduh lebih dulu” aku menggeleng.
Kulepaskan jaket lalu kupakaikan padanya. Kugenggam tangannya erat
dengan kedua tangan, lalu memberikan Jam saku perak yang kupegang sedari
tadi. “Jika kau melihatku dijalan, atau dimanapun itu, kumohon jangan
disapa. Anggap saja aku tak pernah ada” air mataku bergulir bersama
hujan. Ingin kulepas tanganku darinya lalu bejalan menjauh. Namun, Danu
menahanku.
Dia menarikku kedalam pelukannya. Dia memelukku sangat erat, aku tak bisa melihat wajahnya.
“bukankah sudah kubilang? Kau itu beban hidupku” ucapnya “Tempatmu kembali adalah aku. Mau kemana kau tanpa diriku”
“Kau sudah mengingatnya?”
“Aku selalu mengingatmu” jawabnya. Pelukannya semakin erat “tolong
maafkan egoku. Kupikir jika aku terus seperti ini, setidaknya aku bisa
bersamamu lagi, lagi dan lagi” kami terdiam. Hujan semakin lama semakin
deras.
“Hey” ucapku memecah keheningan “mungkin lebih baik kau lepas pelukanmu sekarang”
“maksudmu?”
“bukankah hari ini kau ada sidang?” Danupun tertawa.
•••
Aku menunggu di ruangan ini bertahun-tahun. Ruangan yang begitu kosong
dan putih. Aku duduk di sebuah sofa yang takkan terlihat kecuali kau
memperhatikannya. Hingga, hari yang ditunggu akhirnya tiba.
Sebuah
pintu terbuka lebar didepanku. Ada seseorang berjalan keluar dari sana.
Aku tersenyum menyambutnya. “Halo” ucapku “sudah lama tidak berjumpa, ya
‘kan? Danu” pria itu tertawa.
“tentu saja” dia membalas senyumku “Siapa yang menduga bahwa kau menukar keberadaanmu agar bisa membawa Lita ketempat ini”
“bagaimana dengan dibawah sana? Kuyakin Renu tak bisa menggantikanku dengan baik” tanyaku basa-basi.
“Kacau balau” ucapnya. Aku kembali tersenyum.
“kau pasti sudah tahu untuk apa aku berada disini, bukan?” tanyaku “Jadi, apa jawabanmu kali ini?”
Danu tersenyum. Dengan yakin dia menjawab : “tidak”
“bagus” ucapku. Danu kemudian memberikan ‘kunci’ itu padaku. Kubukakan
Pintu yang selama ini terkunci darinya. Dia melangkah dengan santai
mendekati pintu itu. Tiba-tiba saja, dia berhenti.
“Hey” ucapnya “ada satu hal yang menggangguku. Wanita yang kulihat saat wisuda itu, siapa?”
Aku tersenyum. “kau tak perlu tahu” [end]
Lampu mobil
terlihat menyilaukan. Erangan mesinnya
memenuhi rongga telinga. Seluruh tubuhku kaku, kakiku tak bisa
digerakkan, nafasku tercekat. Apa aku akan mati? Kualihkan pandangan mataku
kedepan, melihat Danu. Dia begitu dekat.
Tangannya
menjulur kearahku. Begitu dekat, hingga kupikir bisa meraihnya. Namun, dia
mendorongku. Menghempasku jauh darinya. Aku terjatuh, kepalaku terbentur keras.
Sesuatu yang hangat terasa mengalir di pelipis.
Dari kejauhan,
terlihat bayangan seseorang tertabrak, Danu. Aku ingin meneriakkan namanya,
tapi tak bisa. Seluruh kesadaranku terasa diangkat menjauh dari badan. Setiap
bagian tubuhku terasa kejang. Mataku terpejam rapat, mulut terkatup, nafas
tertahan. Hingga seluruh dunia perlahan menjadi sunyi.
Rasa sakit
dikepalaku hilang begitu saja. Aku berusaha berdiri, tubuhku terasa ringan.
Kulangkahkan kakiku untuk mengecek ke sekelilin. Aku berada di dunia yang
sangat putih, sangat kosong. Aku tak bisa mengharapkan seseorang berada disini.
“Maafkan aku
karena telah memaksamu kesini” Sebuah suara menyambutku dari belakang. Suara
ini…
“Vani!”
kubalikkan badan, memastikan bahwa sosok dihadapanku benar-benar dia. Segera kuhampiri dia lalu memeluknya erat.
“Kau masih saja
tidak menambahkan sebutan ‘kakak’ sebelum namaku” Vani tersenyum, dia membalas
pelukanku.
“Kalau kau ingin
disebut ‘kakak’, ‘nenek’ akan jauh lebih cocok bagimu. Mengingat umur aslimu
jika dibandingkan denganku” jawabku.
“Hahaha. Jadi
selama ini kau mengetahui identitas asliku ya?” dia melepas pelukanku lalu
mencubit hidungku keras. Tangannya yang bebas kini dimasukan dalam-dalam ke
saku Jas.
“Sedang apa kau
disini?” tanyaku.
“Aku disini
ingin bertemu denganmu tentu saja” dia diam sejenak. Wajahnya seketika menjadi serius “aku butuh bantuanmu”
“untuk?” tanyaku
lagi.
“menghentikanku”
ucapnya. Dia mengeluarkan sebuah Jam saku perak lalu menyetelnya.
“maksudmu?”
“Kau mungkin
akan mengerti jika melihatnya sendiri” Jam itu dia berikan padaku.
“Dengarkanlah”
Aku sempat
bingung, namun kuturuti keinginannya. Kutempelkan jam itu ke telingaku.
Kudengarkan dengan seksama. Tik… tik…
tik… Detiknya berirama, berpola teratur. Semakin lama, semakin cepat,
membuatku hanyut didalamnya. Pandanganku mulai buyar, digantikan dengan wajah
seseorang, Danu.
Aku hanya bisa
melihatnya, seperti menonton sebuah rekaman. Aku menyaksikan dia berbenah diri.
Dia keluar dari kamarnya. Melangkah dengan tenang, melewati sebuah taman.
Tiba-tiba saja, terlihat seorang wanita tergeletak di sebelah bangku. Tunggu,
itu aku?
Danu langsung
menghampirinya, atau aku. Dia menyentuh leherku, mengeluarkan minyak kayu
putih, lalu memakaikan jaketnya padaku.
"Nona, sadarlah!" Dia meletakkan kepalaku di
pangkuannya, menguncang-guncang tubuhku, lalu menamparku pelan. Ketika dia
hendak mengangkatku, aku tersadar.
"Nona, anda tidak apa-apa? Apa anda merasa mual? Ada
bagian yang sakit?" Danu mengamatiku dengan seksama. Dia melihatku dengan
pandangan cemas.
“Aku tidak apa-apa” jawabku, atau dia “hanya anemia” Diapun
berterima kasih pada Danu lalu pergi. Tak ada sepatah kata lagi, apa aku dulu
sedingin itu? Danu masih duduk disitu, ia tidak sempat membalas apa-apa.
Danu berdiri untuk melanjutkan perjalanan. Ia menyilangkan
tangannya di dada, mengigil. Tiba-tiba, dia menengok kebelakang, seakan
melupakan sesuatu. Jaketnya! Dia meninggalkan jaketnya padaku. Aku
mengingat-ingat lagi apa yang terjadi pada jaket itu, nihil. Aku tak bisa
mengingatnya.
Frame-frame berikutnya berlalu dengan cepat. Danu menjalani
sidang. Proses wisuda. Perkenalannya di Rumah sakit. Pertemuannya lagi
denganku. Vani bercerita tentangku padanya. Ia bekerja keras. Perkenalannya
denganku setelah sekian lama. Waktu yang dihabiskannya bersamaku, aku, aku.
Lalu sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi.
Danu berlari kearahku. Dia mendorongku, menjauhiku dari
bahaya, menggantikanku. Dia tertabrak. Kepalanya pecah. Darah mengalir
dimana-mana. Perlahan, kulihat dunia memutih. Segalanya menjadi sunyi.
Danu berusaha untuk bangkit, dia berteriak mencari
pertolongan. Luka-lukanya mulai sembuh, namun wajahnya terlihat cemas. Dia
mulai meneriakkan namaku, berjalan kesana kemari.
“Dia takkan mendengarmu, kau tahu itu” suara Vani terdengar
dari setiap sudut ruangan. Danu menoleh berkali-kali, mencari pemilik suara
tersebut.
“Siapa kau?” dia berteriak “SIAPA KAU!?” Sebuah pintu putih
terbuka di belakang Danu. Seseorang terlihat berjalan keluar dari sana, Vani.
Pintu itu kemudian tertutup lalu menghilang.
“Kau yakin
ti…” suara Vani perlahan menghilang, tetapi mulutnya masih bergerak. Danu
membalikkan badannya. Ia terlihat kaget. Vani berkata sesuatu lagi, aku
benar-benar tak bisa mendengarnya. Perlahan, penglihatanku dipercepat.
Danu
mengatakan sesuatu, aku melihat mulutnya bergerak. Vani menjawabnya. Danu
bertanya lagi. Begitu terus hingga tiba-tiba, Vani mengeluarkan Jam saku
peraknya. Dia berbicara panjang lebar; aku sangat ingin tahu apa yang
dikatakannya. Danu berkata sesuatu, diabalas lagi oleh Vani. Danu terlihat
sedang berpikir keras. Ia lalu melirik Vani, wajah Vani mulai terlihat cemas.
Satu
kata
Terdengar suara berbisik ditelingaku. Tiba-tiba saja, pintu putih itu
terbuka lalu Danu tertarik kedalamnya. Dunia menjadi gelap. Lalu secara
perlahan, muncul wajah seseorang, Danu.
Kami
kembali kekamar Danu. Danu kembali melakukan apa yang waktu itu dia lakukan.
Dia berjalan melalui taman itu lagi. Menolongku lagi. Menjalani sidang lagi.
Bertemu denganku lagi. Mengalami kecelakaan lagi. Berbicara dengan Vina lagi.
Lalu kembali terbangun dikamarnya lagi. Hal itu terus terjadi berulang-ulang.
Sebuah Lingkaran Setan, dia terjebak didalamnya.
Aku
menjatuhkan Jam saku yang kupegang. Seketika itu juga, pandanganku buyar. Vani
kembali berada didepanku. Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan Danu saat
mengalami semua itu.
“sudah
berapa kali?” tanyaku “sudah berapa kali dia mengulanginya?”
“aku sudah
tak bisa menghitungnya” aku terduduk lemas “aku sudah tak bisa
menyelamatkannya, hanya kau yang bisa”
“apa aku
mengalaminya juga?” Vani terdiam.
“kuharap
tidak kali ini” dia memungut jam yang kujatuhkan dari lantai. “semoga kau
mengingatnya. Selamat tinggal, semoga beruntung” Vani menekan sebuah tombol di
jam tersebut. Saat itu juga, sebuah pintu terbuka lebar di belakangku. Dia kemudian
memberikan jam itu kepadaku.
“untuk apa
ini?”
“….” Vani mengatakan sesuatu. namun, aku
sudah tak bisa mendengarnya. Duniaku berubah menjadi gelap.
•••
“…Na,
Sadarlah!” seseorang menampar pipiku berkali-kali. Apa yang sedang kulakukan
disini? Aku membuka mata lalu bangun untuk duduk.
“Nona,
anda tidak apa-apa? Apa anda merasa mual? Ada bagian yang sakit?” pria ini
bertanya seolah dia mencemaskanku.
“aku tidak
apa-apa, hanya anemia”.
…