【████ Pov】
『Biip』
『Biip』
『Biip』
Suara elektrokardiograf terdengar di seisi ruangan gelap itu. Cahaya oranye yang menerangi ruangan berasal dari sebuah tabung yang diletakkan miring 60 derajat dari lantai.
Terdapat seseorang di dalam tabung tersebut. Seseorang yang kaki dan tangannya diikatkan dengan erat dengan berbagai sabuk pengaman. Terlihat juga berbagai macam kabel dan selang yang tersambung pada tubuh orang tersebut. Rambutnya yang mengambang-ambang di dalam cairan oranye kontras dengan tubuhnya yang diikat ke dasar tabung.
Wajahnya terlihat seperti orang yang sedang tertidur pulas, namun isi pikirannya sudah hancur berantakan.
“Mulai”
Titah seseorang diluar tabung, seseorang yang memakai jas putih sampai ke mata kaki.
Sesuai dengan perintah itu, sebuah cairan perak meluncur dengan cepat melalui salah satu selang.
Seketika, tubuh yang berada di dalam tabung terguncang dengan hebat.
『Bip!』
Urat-uratnya terlihat menonjol.
『Bip!』『Bip!』
Matanya terbuka melotot.
『Bip!』『Bip!』『Bip!』
Mulutnya berteriak dan berbusa.
『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』
Hidung dan telinganya berdarah.
『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』
Sabuk yang menahannya mengencang.
『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』
Bunyi elektrokardiograf menjadi lebih cepat dan tidak terkendali. Sampai akhirnya…
『Biiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiip』
Alat itu menunjukkan seuah garis lurus.
Seorang gadis berjalan keluar dari bayangan, mendekati sosok yang memakai jas putih tadi.
“Subjek 001, Andri Rusmana, dipastikan mati pada pukul 04:43 pm”
Sosok itu tersenyum.
“Catat ini. Pengamatan fase ketiga akan dimulai dalam satu detik. Setiap unit LIA harap segera ke posisi”
Gadis itu menangguk, kemudian kembali ke dalam bayangan.
Satu menit kemudian, garis lurus yang tertera di elektrokardiograf mulai membentuk sebuah lonjakan kecil. Melihat itu, sosok tadi langsung berseru.
“Perlihatkan padaku hasil rekaman!”
“Unit LIA 006 sampai 008 catat dan dokumentasikan hasil pengamatan dalam tiga format yang berbeda. Unit LIA 002 sampai 005 keluarkan subjek dari kapsul dan persiapkan untuk tes selanjutnya”
『Zzuung!』
Sebuah pintu elektrik menggeser terbuka di depannya, membiarkan cahaya lorong masuk ke dalam ruangan gelap itu.
“Tes selanjutnya dok?”
“Masukkan dia kedalam tabung alpha, berikan hanya oksigen untuk bernafas. Kita lihat apa tubuhnya bisa bertahan tanpa asupan zat apapun”
『Zzuung!』
Pintu itu kembali tertutup.
『Biip』
『Biip』
『Biip』
Suara elektrokardiograf terdengar di seisi ruangan gelap itu. Cahaya oranye yang menerangi ruangan berasal dari sebuah tabung yang diletakkan miring 60 derajat dari lantai.
Terdapat seseorang di dalam tabung tersebut. Seseorang yang kaki dan tangannya diikatkan dengan erat dengan berbagai sabuk pengaman. Terlihat juga berbagai macam kabel dan selang yang tersambung pada tubuh orang tersebut. Rambutnya yang mengambang-ambang di dalam cairan oranye kontras dengan tubuhnya yang diikat ke dasar tabung.
Wajahnya terlihat seperti orang yang sedang tertidur pulas, namun isi pikirannya sudah hancur berantakan.
“Mulai”
Titah seseorang diluar tabung, seseorang yang memakai jas putih sampai ke mata kaki.
Sesuai dengan perintah itu, sebuah cairan perak meluncur dengan cepat melalui salah satu selang.
Seketika, tubuh yang berada di dalam tabung terguncang dengan hebat.
『Bip!』
Urat-uratnya terlihat menonjol.
『Bip!』『Bip!』
Matanya terbuka melotot.
『Bip!』『Bip!』『Bip!』
Mulutnya berteriak dan berbusa.
『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』
Hidung dan telinganya berdarah.
『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』
Sabuk yang menahannya mengencang.
『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』『Bip!』
Bunyi elektrokardiograf menjadi lebih cepat dan tidak terkendali. Sampai akhirnya…
『Biiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiip』
Alat itu menunjukkan seuah garis lurus.
Seorang gadis berjalan keluar dari bayangan, mendekati sosok yang memakai jas putih tadi.
“Subjek 001, Andri Rusmana, dipastikan mati pada pukul 04:43 pm”
Sosok itu tersenyum.
“Catat ini. Pengamatan fase ketiga akan dimulai dalam satu detik. Setiap unit LIA harap segera ke posisi”
Gadis itu menangguk, kemudian kembali ke dalam bayangan.
Satu menit kemudian, garis lurus yang tertera di elektrokardiograf mulai membentuk sebuah lonjakan kecil. Melihat itu, sosok tadi langsung berseru.
“Perlihatkan padaku hasil rekaman!”
“Unit LIA 006 sampai 008 catat dan dokumentasikan hasil pengamatan dalam tiga format yang berbeda. Unit LIA 002 sampai 005 keluarkan subjek dari kapsul dan persiapkan untuk tes selanjutnya”
『Zzuung!』
Sebuah pintu elektrik menggeser terbuka di depannya, membiarkan cahaya lorong masuk ke dalam ruangan gelap itu.
“Tes selanjutnya dok?”
“Masukkan dia kedalam tabung alpha, berikan hanya oksigen untuk bernafas. Kita lihat apa tubuhnya bisa bertahan tanpa asupan zat apapun”
『Zzuung!』
Pintu itu kembali tertutup.
【Dede Pov】
“Weh, keren gila! Beneran kagak ada lukanya”
“… Udah ya Van, geli ah”
“Bentar, ini beneran lu kena ledakan?”
“Iya. Ah, udah ah! Gak usah diraba gitu, najis tau gak!”
Kudorong jauh tangan Irvan dari tubuhku, lalu memasang kembali bajuku yang sebelumnya kulepas.
“Habisnya badan lu macho and sexy sih, jadinya bikin gua tergiur kan”
“Najis. Maho lu”
Irvan tertawa mendengar cemoohanku.
Aku hanya berharap dia memang bercanda barusan, karena matanya melihatku dengan lapar.
Jujur saja, aku merasa jijik terhadap kalangan yang seperti itu. Bukannya sok filosofis, aku hanya merasa jijik secara pribadi dan menganggapnya salah. Yah, setiap orang memiliki pendapat pribadi bukan?
Aku tidak akan menyalahkan mereka dan memberikan ceramah tentang apa yang salah dan apa yang benar. Jadi, mereka pun seharusnya tidak menyalahkanku dan memberikanku ceramah.
Yang biasa aku lakukan apabila bertemu dengan salah satu dari mereka adalah menutup telinga dan berjalan menjauh. Oleh karena itu, aku mengambil tasku lalu berjalan keluar dari kelas untuk menjauhinya. Tapi si Irvan malah berjalan mengikutiku.
“Kok bisa gak ada lukanya sih?”
“Mana gua tau. Kata dokter sih, katanya gua dilindungin sama semacem lapisan apa gitu, jadi gak kena ledakan secara langsung. Gua mana ngerti yang kayak gituan, jadi anggep aja kayak semacem keajaiban gak jelas”
“Apaan tuh? Keajaiban? Lu ngomong kayak si Andri aja”
Aku menelan ludah sejenak.
“Yah, mau keajaiban atau sihir atau apapun itu, yang penting gua sama yang lainnya selamat tanpa luka. Udah itu aja”
“Yang lainnya juga sama tah?”
Aku menelan ludah lagi.
“Yang lainnya … kecuali si Andri. Dia masih belum keluar dari RS”
“Eh? Si Andri masih belum keluar!?”
Aku berhenti, kami sudah sampai di depan UKS. Kulepas sepatuku lalu menaruhnya di rak sepatu sebelum melangkah naik ke teras.
“Belum. Katanya kondisinya masih kritis atau apa gitu. Gua sih gak pernah ketemu sama dia selama di RS, jadi gak tau”
“Andri? Gua sempet liat”
Heni tiba-tiba menyahut dari dalam UKS.
“Beneran Hen!?”
Tanpa sadar nada suaraku meninggi.
“Iya, dari jauh sih. Pas aku dijemput sama Mamah—Ibu, aku sempet liat sejenak. Dia keliatan baik-baik aja kok, cuman …”
“Cuman?”
“Yang namanya khawatir ya khawatir. Bagaimanapun juga, dia itu satu-satunya yang belum dikeluarkan dari Rumah Sakit diantara kita berlima”
Sebuah suara terdengar dari belakangku.
Suara ini … dengan tata bahasa yang baku ini … sudah pasti …
““Haris!””
Aku dan Irvan berkata bersamaan sambil menoleh kearahnya.
“I, iya, aku Haris”
Ah, sungguh menyilaukan. Senyuman manusia paling populer di sekolah, sungguh menyilaukan!
Heni mengusap matanya sejenak, silau karena melihat senyuman Haris.
“Ada apa Haris, kok kesini?”
“Aku hanya ingin melihat yang lain, bagaimana kabarnya. Kita kan belum sempat saling menyapa sejak keluar dari Rumah Sakit”
“Oh, begitu. Gua gak apa-apa, gak ada masalah apapun. Kalau lu sih Hen?”
Ah, gaya bicaraku tertular Haris.
“Gua juga sama. Cuman … berat badan gua …”
“Napa? Naik tah?”
Si Heni mulai akhirnya mulai gendutan!
“Turun …”
… Lah?
Kalo emang turun, kok mukanya malah cemberut?
Emang aneh, makhluk bernawa cewek tuh. Aku gak pernah ngerti apa yang mereka pikirin.
Setelah terdiam sejenak, Haris mulai berbicara lagi.
“Kalau Putri dimana?”
“Si Mput di dalem, lagi ngurusin yang sakit. Anak kelas 10 jatuh pas main bola, aneh-aneh aja. Lu sih Haris, ada yang aneh gak?”
“… Aku juga sama kok, tidak ada luka yang—“
“AAAH!!”
Putri tiba-tiba berteriak dari dalam.
Aku dan Haris berlari masuk mendengar itu, namun Heni sudah mendahului kami.
“Ada apa Mput!?”
“Putri kenapa Hen!?”
“Jempol kirinya! Jempol kirinya ikut kegunting pas motong perban!”
Setelah mataku menyesuaikan diri dengan cahaya dalam ruangan, aku pun bisa melihatnya dengan jelas. Putri menggenggam jempol kirinya dengan erat dan memejamkan mata, air mata terlihat mengalir dari sana. Di dekatnya, tergeletak gulungan perban dan sebuah gunting yang berlumuran darah di kedua bilahnya.
Jumlah darahnya pun tidaklah sedikit.
“De! Jangan ngelamun, cepet cariin hansaplast di rak!!”
Aku terhentak, lalu menyerogoh rak dengan tergesa-gesa karena belum mengenggam situasi dengan benar.
“Nih Hen!”
“Pegang dulu! Mput, lepas tangannya put! Lepas atau gak nanti infeksi! Ayo! Perihnya cuman sebentar!”
Putri menggeleng dengan sekuat tenaga, sementara Heni memegang tangannya dengan satu tangan, dan sebotol alkohol di tangan satunya.
“Mput!!”
Putri masih menolak.
“Yaudah, gua hitung sampe tiga. Nanti habis dibuka langsung ditutup sama hansaplast biar gak perih. Oke?”
“…”
Putri mengangguk dengan pelan.
“Yaudah. Satu … dua … tiga!”
Heni langsung membuka tangan Putri dengan paksa, lalu menyiramkan alkohol sedetik kemudian. “De, hansaplast!”
Terhentak lagi, aku membuka bungkus hansaplast di tanganku lalu mendekatkanya ke jempol Putri.
Namun, aku terhenti.
“Ada apa De!? Gak keliatan apa lukanya!?”
“Enggak … gak keliatan …”
“Hah!?”
“Lukanya gak ada, jadi buat apa dipakein hansaplast!?”
Karena luka yang dimaksud memang tidak ada. Sama sekali. Kalau gak ada lukanya, buat apa dari tadi ribut-ribut!? Bikin orang tegang aja!
“Apaan sih!? Lukanya jelas ada—“
Heni ikut terdiam, kemudian melirik ke setiap orang di dalam ruangan termasuk aku.
Aku juga tidak mengerti apa yang barusan terjadi! Lihat, bahkan Putri sendiri terlihat kebingungan… Eh?
Tunggu … kalau begitu, bukannya berarti lukanya memang ada!?
“Mu, mungkin … Putri cuman kegores dikit terus dilebay-lebayin gitu kali ya … Ahahaha …”
Suaraku keluar dengan sendirinya. Kesimpulan itu tidak terdengar meyakinkan bahkan bagi diriku sendiri. Tapi, setidaknya aku bisa memecahkan suasana yang tidak enak ini.
Akhirnya, ditetapkan bahwa Putri memang tidak terluka. Dia hanya tergores sedikit kemudian histeris takut bahwa jarinya kenapa-napa. Darah yang berada di gunting merupakan darah si adik kelas. Dan aku tetap memasang hansaplast di jarinya Putri takut kalau jarinya memang terpotong dan lukanya terbuka nanti.
Putri menerima pernyataan itu sepenuhnya, meskipun itu membuatnya menjadi orang yang salah.
Setengah jam kemudian, si adik kelas diantarkan pulang oleh guru piket dengan motor sekolah.
Heni duduk di kasur, mengguraikan rambut hitam sebahunya, kemudian tiduran disana. Aku menyalakan handphoneku lalu membaca komik di website online.
“Gua khawatir sama Andri, udah tiga hari dia masih belum keluar juga”
“Paling gara-gara bapaknya belum jemput”
“Bibi Eli juga sibuk terus sama hotelnya … jadi dia gak ada yang jemput …”
Putri mengelus-elus jempolnya yang dibalut dengan hansaplast saat mengatakan itu, sepertinya dia masih memikirkan kejadian tadi siang.
“Mput”
Heni mengingatkan, Putri pun menghentikan tangannya.
“Walaupun sibuk, bukan berarti boleh ninggalin anaknya di Rumah Sakit. Orang tua macem apa yang lebih peduli ke pekerjaan daripada anaknya sendiri!?”
“Kalo kangen bilang aja Hen, gak usah tsundere gitu”
“Siapa yang tsundere!?”
『Buk!』
Sebuah bantal melayang ke arahku.
“Mungkin karena Andri tersengat listrik secara langsung. Bagaimanapun juga, dia berada di posisi paling berbahaya diantara kita berlima”
Sebuah suara terdengar dari pojok ruangan.
Suara ini …
““Haris!!””
Aku dan Heni berkata bersamaan.
“I, iya, aku Haris”
Haris kemudian memasang senyum sejuta wattnya lagi.
Aku pun berpaling ke handphoneku lagi.
“Haris, maksudnya posisi paling berbahaya tuh apa?”
Haris terdiam sejenak. Belakangan ini dia selalu terdiam sebentar setiap kali dipanggil atau ditanya.
“Menurut kalian, kira-kira kenapa waktu itu terjadi ledakan?”
“Yah, itu gara-gara alatnya udah rusak, jadi meledak begitu—Aaw!”
『Tuk!』
Kali ini sebuah pulpen yang melayang, lagi-lagi Heni yang melemparnya.
“Kayak iya aja alat begituan bisa meledak. Paling parah ya bikin konslet terus kebakaran, gak mungkin meledak”
“Ya gak usah ngelempar barang juga dong!”
Aku mengambil pulpen yang dia lempar, lalu melemparkannya kembali.
Sialan, pulpennya jatuh ke lantai.
“Kalau begitu, bagaimana bisa alat itu meledak? Kalau menurut aku, itu karena alatnya berdebu”
“Berdebu?”
Suara Putri terdengar serak.
“Konsepnya sama seperti ledakan dalam tambang. Alat itu yang sudah lama tersimpan di gudang menimbun banyak debu besi sampai ke dalam mesinnya. Lalu, ketika kita mencoba untuk mencabutnya dari dalam socket, kemungkinan besar debu-debu yang terkumpul itu tersebar sampai luar lalu—“
“Ah!”
Aku menepuk tangan, semua mata langsung mengarah padaku.
“Ledakan debu! Itu loh Hen, yang dipake Accelerator pas ngelawan Touma. Dia kan ngebuat ledakan debu, masa lupa?”
“Itu kan Anime, emangnya beneran bisa?”
“Lah, kita kan buktinya!”
Heni masih terlihat bingung. Ah, aku lupa kalau cewek ini terlalu lamban kalau diajak bicara.
“Jadi, makanya lu bilang si Andri tuh ada di posisi paling bahaya …”
“Iya, sebab dia ada di pusat ledakan. Mungkin karena itu, dia harus berada di Rumah Sakit lebih lama dari kita”
Lebih lama di rumah sakit ya? Ah, sebuah ide gila terlintas di kepalaju.
Aku menepuk tanganku lagi.
“Atau mungkin aja dia dijadiin objek penelitian pemerintah!”
“Ya gak mungkinlah bego!”
Heni melempar bantal lagi. Kali ini, aku berhasil menangkapnya secara sempurna, dengan mukaku.
Yup, bantal itu mendarat di wajahku.
“Pfft, ahahahahaha!”
Suara tawa Putri terdengar lepas, aku lihat dia memegangi perutnya. Tak lama kemudian Heni juga ikut tertawa, disusul dengan Haris. Akupun ikut tertular.
Kami tertawa puas sore itu.
Tanpa kusadari, suara tawa Putri sudah berganti dengan isakan kecil. Dia mengusap air mata yang mengalir jatuh dari mata kirinya, kemudian menutup mulutnya dengan tangan yang sama. Putri lalu mulai menangis bersedu-sedu.
Mungkin, emosi yang dia pendam sejak tadi akhirnya keluar secara bersamaan.
Heni turun kasurnya untuk memeluk Putri, Putri membalas pelukannya. Sedangkan aku hanya bisa duduk terdiam disini.
“Gak papa Mput, nangis aja, gak usah ditahan”
Isakan Putri terdengar memenuhi ruangan UKS, bersamaan dengan suara detik jarum jam.
Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan di saat seperti ini, oleh karena itu aku memilih untuk diam saja membiarkan Putri menangis. Begitu pula dengan Haris, begitu pula dengan Heni.
Setelah emosi Putri mereda, Haris terlihat berjalan mendekati Putri, tapi dia malah menepuk bahu Heni.
“Heni, nanti kita berlima pergi menjenguk Andri yuk”
Heni melepaskan pelukannya, aku baru sadar kalau dia juga ternyata menangis.
“Yuk atuh. Si idiot itu pasti mati kesepian sekarang, harus ditemenin atau gak bakal beneran mati dia”
“Emangnya kamu pikir Andri itu kelinci apa?”
Putri dan Heni tertawa lagi.
Bersyukurlah kamu Andri, disini ada dua cewek yang khawatir setengah mati. Yah, kalau gak ada dia emang rasanya kurang lengkap.
Hm? Lengkap?
Kalau dipikir-pikir lagi, kayaknya ada yang kurang sejak awal …
Oh, iya.
“Ngomong-ngomong, si Risti mana? Gak keliatan dari tadi”
“Oh, si Risti tadi siang nelpon aku, katanya dia pengen ganti kaca mata”
“Gitu toh…”
Minus matanya nambah lagi ya tuh anak.
“Weh, keren gila! Beneran kagak ada lukanya”
“… Udah ya Van, geli ah”
“Bentar, ini beneran lu kena ledakan?”
“Iya. Ah, udah ah! Gak usah diraba gitu, najis tau gak!”
Kudorong jauh tangan Irvan dari tubuhku, lalu memasang kembali bajuku yang sebelumnya kulepas.
“Habisnya badan lu macho and sexy sih, jadinya bikin gua tergiur kan”
“Najis. Maho lu”
Irvan tertawa mendengar cemoohanku.
Aku hanya berharap dia memang bercanda barusan, karena matanya melihatku dengan lapar.
Jujur saja, aku merasa jijik terhadap kalangan yang seperti itu. Bukannya sok filosofis, aku hanya merasa jijik secara pribadi dan menganggapnya salah. Yah, setiap orang memiliki pendapat pribadi bukan?
Aku tidak akan menyalahkan mereka dan memberikan ceramah tentang apa yang salah dan apa yang benar. Jadi, mereka pun seharusnya tidak menyalahkanku dan memberikanku ceramah.
Yang biasa aku lakukan apabila bertemu dengan salah satu dari mereka adalah menutup telinga dan berjalan menjauh. Oleh karena itu, aku mengambil tasku lalu berjalan keluar dari kelas untuk menjauhinya. Tapi si Irvan malah berjalan mengikutiku.
“Kok bisa gak ada lukanya sih?”
“Mana gua tau. Kata dokter sih, katanya gua dilindungin sama semacem lapisan apa gitu, jadi gak kena ledakan secara langsung. Gua mana ngerti yang kayak gituan, jadi anggep aja kayak semacem keajaiban gak jelas”
“Apaan tuh? Keajaiban? Lu ngomong kayak si Andri aja”
Aku menelan ludah sejenak.
“Yah, mau keajaiban atau sihir atau apapun itu, yang penting gua sama yang lainnya selamat tanpa luka. Udah itu aja”
“Yang lainnya juga sama tah?”
Aku menelan ludah lagi.
“Yang lainnya … kecuali si Andri. Dia masih belum keluar dari RS”
“Eh? Si Andri masih belum keluar!?”
Aku berhenti, kami sudah sampai di depan UKS. Kulepas sepatuku lalu menaruhnya di rak sepatu sebelum melangkah naik ke teras.
“Belum. Katanya kondisinya masih kritis atau apa gitu. Gua sih gak pernah ketemu sama dia selama di RS, jadi gak tau”
“Andri? Gua sempet liat”
Heni tiba-tiba menyahut dari dalam UKS.
“Beneran Hen!?”
Tanpa sadar nada suaraku meninggi.
“Iya, dari jauh sih. Pas aku dijemput sama Mamah—Ibu, aku sempet liat sejenak. Dia keliatan baik-baik aja kok, cuman …”
“Cuman?”
“Yang namanya khawatir ya khawatir. Bagaimanapun juga, dia itu satu-satunya yang belum dikeluarkan dari Rumah Sakit diantara kita berlima”
Sebuah suara terdengar dari belakangku.
Suara ini … dengan tata bahasa yang baku ini … sudah pasti …
““Haris!””
Aku dan Irvan berkata bersamaan sambil menoleh kearahnya.
“I, iya, aku Haris”
Ah, sungguh menyilaukan. Senyuman manusia paling populer di sekolah, sungguh menyilaukan!
Heni mengusap matanya sejenak, silau karena melihat senyuman Haris.
“Ada apa Haris, kok kesini?”
“Aku hanya ingin melihat yang lain, bagaimana kabarnya. Kita kan belum sempat saling menyapa sejak keluar dari Rumah Sakit”
“Oh, begitu. Gua gak apa-apa, gak ada masalah apapun. Kalau lu sih Hen?”
Ah, gaya bicaraku tertular Haris.
“Gua juga sama. Cuman … berat badan gua …”
“Napa? Naik tah?”
Si Heni mulai akhirnya mulai gendutan!
“Turun …”
… Lah?
Kalo emang turun, kok mukanya malah cemberut?
Emang aneh, makhluk bernawa cewek tuh. Aku gak pernah ngerti apa yang mereka pikirin.
Setelah terdiam sejenak, Haris mulai berbicara lagi.
“Kalau Putri dimana?”
“Si Mput di dalem, lagi ngurusin yang sakit. Anak kelas 10 jatuh pas main bola, aneh-aneh aja. Lu sih Haris, ada yang aneh gak?”
“… Aku juga sama kok, tidak ada luka yang—“
“AAAH!!”
Putri tiba-tiba berteriak dari dalam.
Aku dan Haris berlari masuk mendengar itu, namun Heni sudah mendahului kami.
“Ada apa Mput!?”
“Putri kenapa Hen!?”
“Jempol kirinya! Jempol kirinya ikut kegunting pas motong perban!”
Setelah mataku menyesuaikan diri dengan cahaya dalam ruangan, aku pun bisa melihatnya dengan jelas. Putri menggenggam jempol kirinya dengan erat dan memejamkan mata, air mata terlihat mengalir dari sana. Di dekatnya, tergeletak gulungan perban dan sebuah gunting yang berlumuran darah di kedua bilahnya.
Jumlah darahnya pun tidaklah sedikit.
“De! Jangan ngelamun, cepet cariin hansaplast di rak!!”
Aku terhentak, lalu menyerogoh rak dengan tergesa-gesa karena belum mengenggam situasi dengan benar.
“Nih Hen!”
“Pegang dulu! Mput, lepas tangannya put! Lepas atau gak nanti infeksi! Ayo! Perihnya cuman sebentar!”
Putri menggeleng dengan sekuat tenaga, sementara Heni memegang tangannya dengan satu tangan, dan sebotol alkohol di tangan satunya.
“Mput!!”
Putri masih menolak.
“Yaudah, gua hitung sampe tiga. Nanti habis dibuka langsung ditutup sama hansaplast biar gak perih. Oke?”
“…”
Putri mengangguk dengan pelan.
“Yaudah. Satu … dua … tiga!”
Heni langsung membuka tangan Putri dengan paksa, lalu menyiramkan alkohol sedetik kemudian. “De, hansaplast!”
Terhentak lagi, aku membuka bungkus hansaplast di tanganku lalu mendekatkanya ke jempol Putri.
Namun, aku terhenti.
“Ada apa De!? Gak keliatan apa lukanya!?”
“Enggak … gak keliatan …”
“Hah!?”
“Lukanya gak ada, jadi buat apa dipakein hansaplast!?”
Karena luka yang dimaksud memang tidak ada. Sama sekali. Kalau gak ada lukanya, buat apa dari tadi ribut-ribut!? Bikin orang tegang aja!
“Apaan sih!? Lukanya jelas ada—“
Heni ikut terdiam, kemudian melirik ke setiap orang di dalam ruangan termasuk aku.
Aku juga tidak mengerti apa yang barusan terjadi! Lihat, bahkan Putri sendiri terlihat kebingungan… Eh?
Tunggu … kalau begitu, bukannya berarti lukanya memang ada!?
“Mu, mungkin … Putri cuman kegores dikit terus dilebay-lebayin gitu kali ya … Ahahaha …”
Suaraku keluar dengan sendirinya. Kesimpulan itu tidak terdengar meyakinkan bahkan bagi diriku sendiri. Tapi, setidaknya aku bisa memecahkan suasana yang tidak enak ini.
Akhirnya, ditetapkan bahwa Putri memang tidak terluka. Dia hanya tergores sedikit kemudian histeris takut bahwa jarinya kenapa-napa. Darah yang berada di gunting merupakan darah si adik kelas. Dan aku tetap memasang hansaplast di jarinya Putri takut kalau jarinya memang terpotong dan lukanya terbuka nanti.
Putri menerima pernyataan itu sepenuhnya, meskipun itu membuatnya menjadi orang yang salah.
Setengah jam kemudian, si adik kelas diantarkan pulang oleh guru piket dengan motor sekolah.
Heni duduk di kasur, mengguraikan rambut hitam sebahunya, kemudian tiduran disana. Aku menyalakan handphoneku lalu membaca komik di website online.
“Gua khawatir sama Andri, udah tiga hari dia masih belum keluar juga”
“Paling gara-gara bapaknya belum jemput”
“Bibi Eli juga sibuk terus sama hotelnya … jadi dia gak ada yang jemput …”
Putri mengelus-elus jempolnya yang dibalut dengan hansaplast saat mengatakan itu, sepertinya dia masih memikirkan kejadian tadi siang.
“Mput”
Heni mengingatkan, Putri pun menghentikan tangannya.
“Walaupun sibuk, bukan berarti boleh ninggalin anaknya di Rumah Sakit. Orang tua macem apa yang lebih peduli ke pekerjaan daripada anaknya sendiri!?”
“Kalo kangen bilang aja Hen, gak usah tsundere gitu”
“Siapa yang tsundere!?”
『Buk!』
Sebuah bantal melayang ke arahku.
“Mungkin karena Andri tersengat listrik secara langsung. Bagaimanapun juga, dia berada di posisi paling berbahaya diantara kita berlima”
Sebuah suara terdengar dari pojok ruangan.
Suara ini …
““Haris!!””
Aku dan Heni berkata bersamaan.
“I, iya, aku Haris”
Haris kemudian memasang senyum sejuta wattnya lagi.
Aku pun berpaling ke handphoneku lagi.
“Haris, maksudnya posisi paling berbahaya tuh apa?”
Haris terdiam sejenak. Belakangan ini dia selalu terdiam sebentar setiap kali dipanggil atau ditanya.
“Menurut kalian, kira-kira kenapa waktu itu terjadi ledakan?”
“Yah, itu gara-gara alatnya udah rusak, jadi meledak begitu—Aaw!”
『Tuk!』
Kali ini sebuah pulpen yang melayang, lagi-lagi Heni yang melemparnya.
“Kayak iya aja alat begituan bisa meledak. Paling parah ya bikin konslet terus kebakaran, gak mungkin meledak”
“Ya gak usah ngelempar barang juga dong!”
Aku mengambil pulpen yang dia lempar, lalu melemparkannya kembali.
Sialan, pulpennya jatuh ke lantai.
“Kalau begitu, bagaimana bisa alat itu meledak? Kalau menurut aku, itu karena alatnya berdebu”
“Berdebu?”
Suara Putri terdengar serak.
“Konsepnya sama seperti ledakan dalam tambang. Alat itu yang sudah lama tersimpan di gudang menimbun banyak debu besi sampai ke dalam mesinnya. Lalu, ketika kita mencoba untuk mencabutnya dari dalam socket, kemungkinan besar debu-debu yang terkumpul itu tersebar sampai luar lalu—“
“Ah!”
Aku menepuk tangan, semua mata langsung mengarah padaku.
“Ledakan debu! Itu loh Hen, yang dipake Accelerator pas ngelawan Touma. Dia kan ngebuat ledakan debu, masa lupa?”
“Itu kan Anime, emangnya beneran bisa?”
“Lah, kita kan buktinya!”
Heni masih terlihat bingung. Ah, aku lupa kalau cewek ini terlalu lamban kalau diajak bicara.
“Jadi, makanya lu bilang si Andri tuh ada di posisi paling bahaya …”
“Iya, sebab dia ada di pusat ledakan. Mungkin karena itu, dia harus berada di Rumah Sakit lebih lama dari kita”
Lebih lama di rumah sakit ya? Ah, sebuah ide gila terlintas di kepalaju.
Aku menepuk tanganku lagi.
“Atau mungkin aja dia dijadiin objek penelitian pemerintah!”
“Ya gak mungkinlah bego!”
Heni melempar bantal lagi. Kali ini, aku berhasil menangkapnya secara sempurna, dengan mukaku.
Yup, bantal itu mendarat di wajahku.
“Pfft, ahahahahaha!”
Suara tawa Putri terdengar lepas, aku lihat dia memegangi perutnya. Tak lama kemudian Heni juga ikut tertawa, disusul dengan Haris. Akupun ikut tertular.
Kami tertawa puas sore itu.
Tanpa kusadari, suara tawa Putri sudah berganti dengan isakan kecil. Dia mengusap air mata yang mengalir jatuh dari mata kirinya, kemudian menutup mulutnya dengan tangan yang sama. Putri lalu mulai menangis bersedu-sedu.
Mungkin, emosi yang dia pendam sejak tadi akhirnya keluar secara bersamaan.
Heni turun kasurnya untuk memeluk Putri, Putri membalas pelukannya. Sedangkan aku hanya bisa duduk terdiam disini.
“Gak papa Mput, nangis aja, gak usah ditahan”
Isakan Putri terdengar memenuhi ruangan UKS, bersamaan dengan suara detik jarum jam.
Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan di saat seperti ini, oleh karena itu aku memilih untuk diam saja membiarkan Putri menangis. Begitu pula dengan Haris, begitu pula dengan Heni.
Setelah emosi Putri mereda, Haris terlihat berjalan mendekati Putri, tapi dia malah menepuk bahu Heni.
“Heni, nanti kita berlima pergi menjenguk Andri yuk”
Heni melepaskan pelukannya, aku baru sadar kalau dia juga ternyata menangis.
“Yuk atuh. Si idiot itu pasti mati kesepian sekarang, harus ditemenin atau gak bakal beneran mati dia”
“Emangnya kamu pikir Andri itu kelinci apa?”
Putri dan Heni tertawa lagi.
Bersyukurlah kamu Andri, disini ada dua cewek yang khawatir setengah mati. Yah, kalau gak ada dia emang rasanya kurang lengkap.
Hm? Lengkap?
Kalau dipikir-pikir lagi, kayaknya ada yang kurang sejak awal …
Oh, iya.
“Ngomong-ngomong, si Risti mana? Gak keliatan dari tadi”
“Oh, si Risti tadi siang nelpon aku, katanya dia pengen ganti kaca mata”
“Gitu toh…”
Minus matanya nambah lagi ya tuh anak.
【Andri Pov】
I held my right hand that was about to get out of control.
I couldn’t believe this, we had become immortal beings. Unbelievable powers were rushing in my body as an extremely powerful aura overflowing from it. My muscles seemed like they were being re-forged. My feet felt so light. My hands felt so powerful. My six senses advanced drastically.
This was not astonishing.
This was because of our heart.
Our heart, the center of a bunch of organs that we called as body, had an incredible power. A power that was being dreamed by every living creatures. A power that would envy every human being who knows it. A super-fast regeneration ability which made our body back to its first instance regardless of how much it got injured.
This was also not astonishing.
This was because we were the five yearlings chosen by gods, destined to destroy the demon clan that was breaking apart the balance of the three worlds – Human world, demon’s hell, and the land of gods.
I, Andri Rusmana, the one who became the vessel of the Great Goddess Andromeda, was the only human who could kill the King of the devils, Lucif – Gah!
『WHACK!! 』
“Ouch!!”
I rubbed my head.
Heni held her rolled math book tightly.
“Stop daydreaming will ya? Also, Andromeda and Lucifer are so not in tune!”
“Like hell I care. Miss Ina hasn’t come yet. It’s boring as shit. If only we didn’t get stuck in the blackout, I would’ve charged my phone already.”
I got up from my kneeling position and picked up the phone in my pocket. I knew it had already run out of battery, why did I pick it up.
Shit, if only I knew that we will get stuck in a blackout I would’ve charged it already.
“It doesn’t mean that you have to daydream and show off your weirdo positions in front of the class, right? You ruined our eyeshot!”
“What? What did you say? Daydreaming? It’s not daydreaming, Hen. It’s Chuunibyou! Chuunibyou demo, Koi ga shitai!”
I opened my invisible eye patch and yelled “Synapse Break!!” then showed off a cool position. The laugh ‘Huahahaha!!’ that I did afterwards made everything perfect.
“Emergency situation, this kid can’t be helped anymore. Mput, why were you just in silence? Help me tell him something!”
Putri smiled while sitting on her chair.
“What can I say? He has been like that since forever. Besides, it’s funny to see him doing those things. Right, Ris?”
Risti nodded without switching off her focus from her siomay that she was eating.
“See?”
“Well, you’ve known him since you were in kindergarten. At least tell him to stop.”
“He wouldn’t listen to you, who are his girlfriend, who am I telling him things instead? Let’s just sit in sound, he’ll stop eventually”
“It is the truth. Thou should follow the words of the daughter of dove. Sit calm and watch my greatness!”
I leaned against the whiteboard, of course with one hand covering my left eye so the Black Dragon Eye in me won’t rise and create chaos in the human world.
“The daughter of dove?”
“Hmm … maybe he was referring to Hatoko. Hato (鳩) and Ko (子) can be translated as the daughter of dove … But why the hell you say that out of the blue?”
“Haven’t thou understood, O Kanzaki Tomoyo!?’
“Kanza—!?”
“Pay close attention to your surroundings! Read the situation properly, thus you should understand my aim”
Heni tilted her head, showing a confused expression. As expected, she could never read situations properly, but strangely she could follow every Chuuni talks with me.
Fumu, okay, I will show her my power so she could understand. I raised my right hand high into the air and screamed wholeheartedly.
“I am the almighty Andri Jurai!! Rise and burn, O the dark fire dragon that is asleep in my right hand, DARK AND DAAAAARRKK!!!”
“EEEI!!”
『WHACK!! 』
“OUCH!!”
“Ippon!”
The strings of events were ended with Putri who was raising her hand as if she was the jury of a Kendo match, and I was just defeated by Heni and her mathematic book.
“What the hell was that for!?”
I held my head spontaneously, it seemed like I felt a lump at my fingertip.
Shit, Heni hit the same spot twice. Moreover, how could mathematic book be that sturdy!? Is she Emiya Shirou!?
“We are the school’s Youth Red Cross, not some literature club with its member having some weirdo ability”
“What’s wrong with it? Our Youth Red Cross’ members are five which is the exact number; a boy, three girls, and a loli. Unfortunately we’re lacking of loli!”
“It’s just the number of our generation. Plus, why did Dede not counted?”
“Hah, Dede is not a loli, he isn’t noteworthy.”
“Who did you say isn’t noteworthy, kiddo!?”
Talk about the devil, he has shown up.
Dede pressed his fingertip and showed off a scornful expression while speaking cynically “Please, don’t make me a killer!”
Soon after that, he attacked me with his two hands extended. I held it mightily.
“What do you aim to do, you pesky Ghoul!!”
“How much is 1000 minus seven!? How much is 1000 minus seveennn!?”
“It squirted! Your spittle squirted!! Speak properly, your spittle squirteeeddd!!”
“Aah! Why do boys never be normal!?”
“The Youth Red Cross is always cheerful, isn’t it?”
A voice heard among our screams and laughs.
This voice...
“““Haris!”””
Me, Heni, and Putri spoke all at once.
“Yes, it is me Haris.”
Haris showed off his one thousand watts smile.
Oh, no, it’s too dazzling. The smile from the most famous riajuu, it’s to dazzling for my eyes!!
“Haris, you haven’t gone home? What are you holding there?”
“Oh, this one? This is—“
Dede immediately removed his hand from mine to take the weird oval thing that was held by Haris.
“Don’t ya know? Look!”
He put the thing in his arm and bowed as if he was protecting it. Ah, that position—!
“Shin, this time I will get to pass you!!”
Hah! If that what you want, I will serve you wholeheartedly!
“Go forth, Eyeshield 21!!”
“HEYAAAAAAAAAHHHHH!!!!”
“HOOOAAAAAAAAAAHHHHH!!!!”
“HIYAAAAT!!”
『WHACK! 』
『WHACK!! 』
Finally, both of us toppled over Heni’s hand.
“Like the hell this is a rugby ball! Look, what kind of rugby ball needs electricity!?”
Heni picked the thing from Dede’s hand then she showed a white wire that was connected to it.
“It’s not Rugby! It’s American Football!”
“Like hell I care, dammit!”
“But, the only thing that has an oval shape, a rope in it, and also needs electricity isn’t it’s …”
I didn’t dare to continue, Heni stared at me ferociously.
“Vi*rat*r!!”
『WHACK!! 』
White smoke puffed from Dede’s head, I was just thankful that I didn’t continue my words.
“Vibrator?”
“What the-, why didn’t they censor Mput’s words!?”
“Kuhuhuhu. Haven’t you understood, Mori Summer?”
“Mori Sum—!?”
“It’s because of she—“
I pointed at Putri, Putri let out a small “fuee?”Sound from her mouth.
“—Didn’t understand the meaning of the word she has spoken! Tell me, what you will say for a Dog that has a style!?”
“Dog Style?”
“Exactly!”
『WHACK!! 』
“Don’t make other says weird things!”
I rubbed my head for the fourth time; the lump in my head had two extras then. Without thinking too much I continued my explanation.
“The concept of preventing the censorship is simple. Everything depends on the intention of the speech. If you met a bull that shat in the road, you could calmly said 「Bullshit!」. But, it’s a different thing if you cursed and said 「Bullsh*t! 」, they will take one word as a censorship of what we said”
“Like hell I care about the censorship things and such! So what is this actually about!?”
“It is a massage machine. I had one in my home. It will vibrate if it is connected to the electricity, the vibrate will cast out fatigue.”
Dede clapped his hands after listening to Haris’s normative explanation, as if he was saying “aha!” through his expression.
“I told ya, it’s a V*br*tor!!”
“IT IS NOT!!”
“But, who’s gonna use a Vi*ra*or with that size?”
“I TOLD YOU IT IS NOT!!”
“But take a closer look at it, isn’t it the way to tie a b**da*e?”
“Bondage?”
“IT’S NOT A WAY TO TIE A BOND*GE!! AND DON’T YOU REPEAT THE WORD PUTRI!!”
Heni, for your three in a row tsukkomi, otsukaresama.
Putri laughed innocently afterwards.
“It seems fun, I wanna join too”
“What the hell is fun in it, Mput!? The only thing you have to feel is a stress for getting around to those two idiots!” Heni panted in the end of her sentence. Her face got reddish like an apple; it was getting so cute to be seen. The reddish face glanced at me and said cynically “What the hell are you smiling at!?”
“Nothin’. But, if you know the way to tie a bonda*e, doesn’t it mean that you know the proper way to tie it? Plus, your words were censored. It means—“
“W, what!? Means what!?”
Her face was getting even more reddish, I really can’t get enough to seeing it.
“Hey, is the tip of it rusty?”
Dede suddenly shouted behind us. When we turned around, the wire of the giant V*brat*r had already plugged to the electric socket.
That shithead, what the hell was he doing!?
“Is something wrong, Dede?”
“Look, the wire doesn’t want to be unplugged. But if I pull it forcefully, I’m afraid it’ll be broken”
“Then why the hell did you plug it to the socket!? If it’s broken and inflicted a power failure what are ya gonna do!?”
“It’s okay. It won’t since its blackout now”
“That’s not the problem! Just unplug it right now! Ah shit, Mput, Andri, help me here!”
Heni looked angry. No, exactly she was anxious. That was just the way she showed her anxiety. I and Putri approached her.
“Alrighty alright. Everyone move aside, I wanna see it first”
I squatted to see the wire end of the massage machine closer, it was extremely rusty. How in the world did Dede plug the exceptionally rusty wire into the socket? That was clearly impossible.
“So how about it Andri? Can you unplug it?”
“If only I could reduce the rust, I might unplug it. We can use vinegar and salt, as what I remember they could get rid of rusts.”
“Vinegar and salt, isn’t it? Let me take it in the kitchen”
“Hold on”
I stopped Haris. If we use vinegar and salt, it might take a long time until the rust completely gone. It could become a danger if the electricity reverted while we were reducing the rusts.
“I think we should just unplug it together, I’m afraid the electricity will be reverted while we’re trying to reduce it”
“Isn’t it going to be broken if you do it that way?”
“I should just shake the end of it so it won’t be broken; you guys pull it as hard as you can”
They were silent, I was sure that they were anxious.
I had to give them more assurance.
“We can do it. So come on before the electricity reverted!”
“… Alrighty then; I’m gonna pull it with Haris, you girls back off. You guys are disturbing”
“I wanna help too—“
“Hen …”
I looked at her deeply, hoping that she would understand without being told.
We needed someone to pull us out of the electric current just in case it would reverted, and I was sure that pulling out a load of 120 kg that was electrified wasn’t an easy task. It was impossible for Risti and Putri to do it with only both of them.
Besides, I didn’t want them to get hurt if something happened.
But, it seemed like I was expecting too much. A slow girl like her wouldn’t understand unless she was being told.
I smiled.
“Ku ku ku. Your power is useless for us. Be gone!”
“…”
It was a silence.
Did I do it in a wrong time?
Shit. The atmosphere became so awkward.
“Whatever. C’mon Mput, let’s just watch them”
Finally, Heni decided to back off.
Well, the most important thing was she did what I wanted her to do.
I gripped the wire connection tightly while Haris and Dede were getting ready to hold the wire.
“Ready … pull it!”
I shook it as hard as I could as both of them pulled it out strongly.
“Hold on!”
They suddenly stopped. It was so close; just a little bit more of strength the plug would be broken. I held it even stronger.
“Let’s pull it away in one try; I’m afraid the plug will be broken. Once more, pull it out!”
They pulled it out again, I also shook it again.
“Pull it!”
It felt that it moved a little bit, we were making a progress.
“Pull it!”
A little bit more and this thing going to be really unplugged.
“Pull—“
The class’ lamp turned on.
There was a loud explosion.
I held my right hand that was about to get out of control.
I couldn’t believe this, we had become immortal beings. Unbelievable powers were rushing in my body as an extremely powerful aura overflowing from it. My muscles seemed like they were being re-forged. My feet felt so light. My hands felt so powerful. My six senses advanced drastically.
This was not astonishing.
This was because of our heart.
Our heart, the center of a bunch of organs that we called as body, had an incredible power. A power that was being dreamed by every living creatures. A power that would envy every human being who knows it. A super-fast regeneration ability which made our body back to its first instance regardless of how much it got injured.
This was also not astonishing.
This was because we were the five yearlings chosen by gods, destined to destroy the demon clan that was breaking apart the balance of the three worlds – Human world, demon’s hell, and the land of gods.
I, Andri Rusmana, the one who became the vessel of the Great Goddess Andromeda, was the only human who could kill the King of the devils, Lucif – Gah!
『WHACK!! 』
“Ouch!!”
I rubbed my head.
Heni held her rolled math book tightly.
“Stop daydreaming will ya? Also, Andromeda and Lucifer are so not in tune!”
“Like hell I care. Miss Ina hasn’t come yet. It’s boring as shit. If only we didn’t get stuck in the blackout, I would’ve charged my phone already.”
I got up from my kneeling position and picked up the phone in my pocket. I knew it had already run out of battery, why did I pick it up.
Shit, if only I knew that we will get stuck in a blackout I would’ve charged it already.
“It doesn’t mean that you have to daydream and show off your weirdo positions in front of the class, right? You ruined our eyeshot!”
“What? What did you say? Daydreaming? It’s not daydreaming, Hen. It’s Chuunibyou! Chuunibyou demo, Koi ga shitai!”
I opened my invisible eye patch and yelled “Synapse Break!!” then showed off a cool position. The laugh ‘Huahahaha!!’ that I did afterwards made everything perfect.
“Emergency situation, this kid can’t be helped anymore. Mput, why were you just in silence? Help me tell him something!”
Putri smiled while sitting on her chair.
“What can I say? He has been like that since forever. Besides, it’s funny to see him doing those things. Right, Ris?”
Risti nodded without switching off her focus from her siomay that she was eating.
“See?”
“Well, you’ve known him since you were in kindergarten. At least tell him to stop.”
“He wouldn’t listen to you, who are his girlfriend, who am I telling him things instead? Let’s just sit in sound, he’ll stop eventually”
“It is the truth. Thou should follow the words of the daughter of dove. Sit calm and watch my greatness!”
I leaned against the whiteboard, of course with one hand covering my left eye so the Black Dragon Eye in me won’t rise and create chaos in the human world.
“The daughter of dove?”
“Hmm … maybe he was referring to Hatoko. Hato (鳩) and Ko (子) can be translated as the daughter of dove … But why the hell you say that out of the blue?”
“Haven’t thou understood, O Kanzaki Tomoyo!?’
“Kanza—!?”
“Pay close attention to your surroundings! Read the situation properly, thus you should understand my aim”
Heni tilted her head, showing a confused expression. As expected, she could never read situations properly, but strangely she could follow every Chuuni talks with me.
Fumu, okay, I will show her my power so she could understand. I raised my right hand high into the air and screamed wholeheartedly.
“I am the almighty Andri Jurai!! Rise and burn, O the dark fire dragon that is asleep in my right hand, DARK AND DAAAAARRKK!!!”
“EEEI!!”
『WHACK!! 』
“OUCH!!”
“Ippon!”
The strings of events were ended with Putri who was raising her hand as if she was the jury of a Kendo match, and I was just defeated by Heni and her mathematic book.
“What the hell was that for!?”
I held my head spontaneously, it seemed like I felt a lump at my fingertip.
Shit, Heni hit the same spot twice. Moreover, how could mathematic book be that sturdy!? Is she Emiya Shirou!?
“We are the school’s Youth Red Cross, not some literature club with its member having some weirdo ability”
“What’s wrong with it? Our Youth Red Cross’ members are five which is the exact number; a boy, three girls, and a loli. Unfortunately we’re lacking of loli!”
“It’s just the number of our generation. Plus, why did Dede not counted?”
“Hah, Dede is not a loli, he isn’t noteworthy.”
“Who did you say isn’t noteworthy, kiddo!?”
Talk about the devil, he has shown up.
Dede pressed his fingertip and showed off a scornful expression while speaking cynically “Please, don’t make me a killer!”
Soon after that, he attacked me with his two hands extended. I held it mightily.
“What do you aim to do, you pesky Ghoul!!”
“How much is 1000 minus seven!? How much is 1000 minus seveennn!?”
“It squirted! Your spittle squirted!! Speak properly, your spittle squirteeeddd!!”
“Aah! Why do boys never be normal!?”
“The Youth Red Cross is always cheerful, isn’t it?”
A voice heard among our screams and laughs.
This voice...
“““Haris!”””
Me, Heni, and Putri spoke all at once.
“Yes, it is me Haris.”
Haris showed off his one thousand watts smile.
Oh, no, it’s too dazzling. The smile from the most famous riajuu, it’s to dazzling for my eyes!!
“Haris, you haven’t gone home? What are you holding there?”
“Oh, this one? This is—“
Dede immediately removed his hand from mine to take the weird oval thing that was held by Haris.
“Don’t ya know? Look!”
He put the thing in his arm and bowed as if he was protecting it. Ah, that position—!
“Shin, this time I will get to pass you!!”
Hah! If that what you want, I will serve you wholeheartedly!
“Go forth, Eyeshield 21!!”
“HEYAAAAAAAAAHHHHH!!!!”
“HOOOAAAAAAAAAAHHHHH!!!!”
“HIYAAAAT!!”
『WHACK! 』
『WHACK!! 』
Finally, both of us toppled over Heni’s hand.
“Like the hell this is a rugby ball! Look, what kind of rugby ball needs electricity!?”
Heni picked the thing from Dede’s hand then she showed a white wire that was connected to it.
“It’s not Rugby! It’s American Football!”
“Like hell I care, dammit!”
“But, the only thing that has an oval shape, a rope in it, and also needs electricity isn’t it’s …”
I didn’t dare to continue, Heni stared at me ferociously.
“Vi*rat*r!!”
『WHACK!! 』
White smoke puffed from Dede’s head, I was just thankful that I didn’t continue my words.
“Vibrator?”
“What the-, why didn’t they censor Mput’s words!?”
“Kuhuhuhu. Haven’t you understood, Mori Summer?”
“Mori Sum—!?”
“It’s because of she—“
I pointed at Putri, Putri let out a small “fuee?”Sound from her mouth.
“—Didn’t understand the meaning of the word she has spoken! Tell me, what you will say for a Dog that has a style!?”
“Dog Style?”
“Exactly!”
『WHACK!! 』
“Don’t make other says weird things!”
I rubbed my head for the fourth time; the lump in my head had two extras then. Without thinking too much I continued my explanation.
“The concept of preventing the censorship is simple. Everything depends on the intention of the speech. If you met a bull that shat in the road, you could calmly said 「Bullshit!」. But, it’s a different thing if you cursed and said 「Bullsh*t! 」, they will take one word as a censorship of what we said”
“Like hell I care about the censorship things and such! So what is this actually about!?”
“It is a massage machine. I had one in my home. It will vibrate if it is connected to the electricity, the vibrate will cast out fatigue.”
Dede clapped his hands after listening to Haris’s normative explanation, as if he was saying “aha!” through his expression.
“I told ya, it’s a V*br*tor!!”
“IT IS NOT!!”
“But, who’s gonna use a Vi*ra*or with that size?”
“I TOLD YOU IT IS NOT!!”
“But take a closer look at it, isn’t it the way to tie a b**da*e?”
“Bondage?”
“IT’S NOT A WAY TO TIE A BOND*GE!! AND DON’T YOU REPEAT THE WORD PUTRI!!”
Heni, for your three in a row tsukkomi, otsukaresama.
Putri laughed innocently afterwards.
“It seems fun, I wanna join too”
“What the hell is fun in it, Mput!? The only thing you have to feel is a stress for getting around to those two idiots!” Heni panted in the end of her sentence. Her face got reddish like an apple; it was getting so cute to be seen. The reddish face glanced at me and said cynically “What the hell are you smiling at!?”
“Nothin’. But, if you know the way to tie a bonda*e, doesn’t it mean that you know the proper way to tie it? Plus, your words were censored. It means—“
“W, what!? Means what!?”
Her face was getting even more reddish, I really can’t get enough to seeing it.
“Hey, is the tip of it rusty?”
Dede suddenly shouted behind us. When we turned around, the wire of the giant V*brat*r had already plugged to the electric socket.
That shithead, what the hell was he doing!?
“Is something wrong, Dede?”
“Look, the wire doesn’t want to be unplugged. But if I pull it forcefully, I’m afraid it’ll be broken”
“Then why the hell did you plug it to the socket!? If it’s broken and inflicted a power failure what are ya gonna do!?”
“It’s okay. It won’t since its blackout now”
“That’s not the problem! Just unplug it right now! Ah shit, Mput, Andri, help me here!”
Heni looked angry. No, exactly she was anxious. That was just the way she showed her anxiety. I and Putri approached her.
“Alrighty alright. Everyone move aside, I wanna see it first”
I squatted to see the wire end of the massage machine closer, it was extremely rusty. How in the world did Dede plug the exceptionally rusty wire into the socket? That was clearly impossible.
“So how about it Andri? Can you unplug it?”
“If only I could reduce the rust, I might unplug it. We can use vinegar and salt, as what I remember they could get rid of rusts.”
“Vinegar and salt, isn’t it? Let me take it in the kitchen”
“Hold on”
I stopped Haris. If we use vinegar and salt, it might take a long time until the rust completely gone. It could become a danger if the electricity reverted while we were reducing the rusts.
“I think we should just unplug it together, I’m afraid the electricity will be reverted while we’re trying to reduce it”
“Isn’t it going to be broken if you do it that way?”
“I should just shake the end of it so it won’t be broken; you guys pull it as hard as you can”
They were silent, I was sure that they were anxious.
I had to give them more assurance.
“We can do it. So come on before the electricity reverted!”
“… Alrighty then; I’m gonna pull it with Haris, you girls back off. You guys are disturbing”
“I wanna help too—“
“Hen …”
I looked at her deeply, hoping that she would understand without being told.
We needed someone to pull us out of the electric current just in case it would reverted, and I was sure that pulling out a load of 120 kg that was electrified wasn’t an easy task. It was impossible for Risti and Putri to do it with only both of them.
Besides, I didn’t want them to get hurt if something happened.
But, it seemed like I was expecting too much. A slow girl like her wouldn’t understand unless she was being told.
I smiled.
“Ku ku ku. Your power is useless for us. Be gone!”
“…”
It was a silence.
Did I do it in a wrong time?
Shit. The atmosphere became so awkward.
“Whatever. C’mon Mput, let’s just watch them”
Finally, Heni decided to back off.
Well, the most important thing was she did what I wanted her to do.
I gripped the wire connection tightly while Haris and Dede were getting ready to hold the wire.
“Ready … pull it!”
I shook it as hard as I could as both of them pulled it out strongly.
“Hold on!”
They suddenly stopped. It was so close; just a little bit more of strength the plug would be broken. I held it even stronger.
“Let’s pull it away in one try; I’m afraid the plug will be broken. Once more, pull it out!”
They pulled it out again, I also shook it again.
“Pull it!”
It felt that it moved a little bit, we were making a progress.
“Pull it!”
A little bit more and this thing going to be really unplugged.
“Pull—“
The class’ lamp turned on.
There was a loud explosion.
Part VI
Tubuhku masuk kedalam kaca. Ruangan ini putih. Kulangkahkan kakiku sekali. Ruangan yang sangat putih. Kulangkahkan lagi. Tenagaku tiba-tiba menghilang. Aku terjatuh. Jantungku berhenti. Nafasku tercekat. Tidak berhembus sama sekali. Aku kembali menjadi boneka tali.
Aku panik. Tak ada yang bisa kulakukan. Aku panik! Tidak! Aku harus tenang. Pasti ada cara. Tubuhku mulai berubah transparan. Menghilang? Sial! Aku tidak memperkirakannya! Sekarang aku benar-benar panik. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus kembali. Sebelum aku mati disini. Tidak, sebelum aku ‘dihilangkan’ disini.
Tubuhku tak mau bergerak sama sekali. Tidak bahkan satu jaripun. Aku bahkan bisa melihat menembus tanganku sekarang. Apa aku akan mati? Tidak, apa aku akan ‘hilang’? Aku benar-benar tak bisa berpikir sekarang. Aku sudah tak panik. Perasaan itu ‘hilang’ entah kemana. Aku tak merasa takut. Juga tak merasa tenang. Aku sudah tak merasakan apa-apa.
Tunggu, aku masih bisa merasakan sesuatu. Derap langkah kaki. Cepat. Melesat begitu saja melewatiku. Dia berlari menembus kaca. Dia mengambil alih tempatku. Seketika, tubuhku terangkat. Benang-benang itu mengangkatku. Mengendalikanku. Membuatku menghadap ke arah kaca. Kulihat dia dengan jelas. Kakakku.Tubuhku masuk kedalam kaca. Ruangan ini putih. Kulangkahkan kakiku sekali. Ruangan yang sangat putih. Kulangkahkan lagi. Tenagaku tiba-tiba menghilang. Aku terjatuh. Jantungku berhenti. Nafasku tercekat. Tidak berhembus sama sekali. Aku kembali menjadi boneka tali.
Aku panik. Tak ada yang bisa kulakukan. Aku panik! Tidak! Aku harus tenang. Pasti ada cara. Tubuhku mulai berubah transparan. Menghilang? Sial! Aku tidak memperkirakannya! Sekarang aku benar-benar panik. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus kembali. Sebelum aku mati disini. Tidak, sebelum aku ‘dihilangkan’ disini.
Tubuhku tak mau bergerak sama sekali. Tidak bahkan satu jaripun. Aku bahkan bisa melihat menembus tanganku sekarang. Apa aku akan mati? Tidak, apa aku akan ‘hilang’? Aku benar-benar tak bisa berpikir sekarang. Aku sudah tak panik. Perasaan itu ‘hilang’ entah kemana. Aku tak merasa takut. Juga tak merasa tenang. Aku sudah tak merasakan apa-apa.
Tunggu, aku masih bisa merasakan sesuatu. Derap langkah kaki. Cepat. Melesat begitu saja melewatiku. Dia berlari menembus kaca. Dia mengambil alih tempatku. Seketika, tubuhku terangkat. Benang-benang itu mengangkatku. Mengendalikanku. Membuatku menghadap ke arah kaca. Kulihat dia dengan jelas. Kakakku.
Immortal's Battle Chap 0 - Dimulainya dengan Lelucon Jorok!?
Minggu, 14 Agustus 2016
Posted by Fakhri
【Andri Pov】
Aku memegang tangan kananku yang hendak lepas kendali.
Aku tak percaya ini, kami telah menjadi makhluk abadi. Kekuatan yang luar biasa mengalir dengan deras di dalam tubuhku, juga aura yang begitu kuat meluap-luap dari badanku. Otot-ototku terasa ditimpa ulang. Kakiku terasa amat ringan. Tanganku terasa begitu berisi. Keenam indraku meningkat dengan sangat tajam.
Hal ini tidak mengherankan.
Hal ini dikarenakan jantung kami.
Jantung kami, pusat dari organisasi bernama tubuh kami, memiliki kekuatan yang luar biasa. Kekuatan yang diimpi-impikan setiap makhluk hidup yang ada. Kekuatan yang membuat iri setiap manusia yang mengetahuinya. Kekuatan regenerasi super cepat, yang membuat tubuh kami kembali seperti semula bagaimanapun kami terluka.
Hal ini juga tidak mengherankan.
Hal ini dikarenakan kami adalah lima pemuda pilihan para dewa, ditakdirkan untuk menumpas habis klan iblis yang hendak menghancurkan keseimbangan ketiga dunia—Dunia manusia, neraka iblis, dan tanah para dewa.
Aku, Andri Rusmana, seseorang yang menjadi wadah dari sang mahadewi Andromeda, merupakan satu-satunya manusia yang bisa membunuh raja para iblis, Lucif—Guh!
『BLETAK!! 』
“Aaw!!”
Aku mengusap kepalaku.
Heni memegang gulungan buku matematika dengan erat.
“Bisa berhenti ngayal gak? Juga, Andromeda sama Lucifer itu gak nyambung banget ceritanya”
“Mang napa, Bu Ina-nya juga belom dateng ini kok. Bosen. Kalo aja gak mati lampu, udah ngeces hape kali dari tadi”
Aku bangun dari lututku lalu mengeluarkan handphone dari saku. Sudah tahu mati, buat apa aku keluarkan lagi.Sialan, kalau tahu ada mati lampu seharusnya aku isi dulu tadi.
“Ya bukan berarti harus ngayal sambil pose-pose gak jelas di depan juga kan? Lu tuh ngerusak pemandangan tau”
“Hah? Lu bilang apa? Ngayal? Ini bukan ngayal, Hen. Ini Chuunibyou! Chuunibyou demo, Koi ga shitai!”
Aku membuka eye patch tak terlihatku lalu berteriak “Hancurlah, synapse!!” dan memasang pose keren. Tawa “Huahahaha!!” yang kukeluarkan setelahnya membuat segalanya semakin sempurna.
“Gawat dah, ni anak udah gak ketolong lagi dah. Mput juga, jangan diem aja. Bantuin ngomong apa kek!”
Putri tersenyum dari tempat duduknya.
“Mau ngomong apa Hen? Andri kan udah begitu dari dulu. Lagipula, lucu ini kok diliatnya. Iya kan, Ris?”
Risti mengangguk, tanpa mengalihkan fokusnya dari siomay yang dia makan.
“Tuh”
“Yah, lu kan kenal dia sejak TK. Setidaknya suruh dia berhenti dong”
“Kamu pacarnya aja gak mau didengerin, gimana aku? Duduk aja yuk, nanti juga berhenti”
“Benar itu. Ikuti saja apa kata sang anak merpati. Duduklah kau yang tenang dan saksikanlah kehebatanku ini!”
Aku menyender di papan tulis, tentunya dengan satu tangan menutup mata kiriku agar Black Dragon Eye dalam diriku tidak bangkit dan menimbulkan kekacuan di dunia manusia.
“Anak merpati?”
“Hmm … mungkin maksudnya Hatoko. Hato (鳩) sama Ko (子) bisa diartiin jadi anak burung merpati … Lah, napa malah nyambung kesana?”
“Apa kau masih tidak mengerti juga, Kanzaki Tomoyo!?’
“Kanza—!?”
“Coba perhatikan lagi sekelilingmu! Bacalah situasi dengan baik, dan kau akan mengerti apa yang aku maksud”
Heni memiringkan kepalanya, memasang wajah tidak mengerti. Cewek ini memang tidak pernah bisa membaca situasi dengan benar, tapi anehnya dia bisa nyambung kalau diajak chuuni.
Hm, baiklah, biar kutunjukkan kekuatanku agar dia mengerti. Kuangkat tangan kananku tinggi ke udara, lalu berteriak sepenuh hati.
“Dakulah Andri Jurai!! Membaralah, wahai naga api kegelapan yang tertidur di tangan kananku, DARK AND DAAAAARRKK!!!”
“EEEI!!”
『BLETAAK!! 』
“AAW!!”
“Ippon!”
Rentetan kejadian itu diakhiri dengan Putri mengangkat tangannya keatas seakan-akan dia juri pertandingan Kendo, dan aku baru saja dikalahkan oleh Heni dan buku matematikanya
“Buat apa lagi tadi!?”
Aku memegang kepalaku spontan, sepertinya aku merasakan sebuah benjolan di ujung jariku.
Sialan, si Heni memukul di tempat yang sama dua kali. Ditambah lagi, bagaimana bisa buku matematika jadi sekeras itu!? Emiya Shirou apa!?
“Kita itu PMR, bukan klub literatur yang anggotanya punya kekuatan gak jelas”
“Lah, anggota PMR juga kan pas ada lima. Satu cowok, tiga cewek, satu loli. Sayangnya kita kekurangan satu loli!”
“Lima orang itu kan yang angkatan kita doang. Juga, Dede gak lu itung apa?”
“Hah, Dede mah bukan loli, jadi gak penting”
“Siapa yang gak penting cuk!!”
Ah, baru aja diomongin. Umurnya panjang ni orang.
Dede menekan pangkal jarinya, kemudian memasang wajah sinis sambil berkata dengan sinis pula “Kumohon, jangan jadikan aku seorang pembunuh!”
Tak lama kemudian, dia menyerangku dengan kedua tanganya yang dibentang. Aku pun menahannya sekuat tenaga.
“Apa yang hendak kau lakukan, dasar Ghoul sialaaan!!”
“Berapa 1000 dikurangi tujuh!? Berapa 1000 dikurangi tujuuh!?”
“Muncrat, oy! Iler lu muncrat!! Ngomongnya biasa aja, iler lu muncraaaat!!!”
“Ah, cowok tuh kenapa gak ada yang bener sih!?”
“Rame terus ya, PMR”
Sebuah suara terdengar diantara teriakan dan gelak tawa kami.
Suara ini …
“““Haris!”””
Aku, Heni, dan Putri berkata bersamaan.
“Iya, aku Haris”
Haris memasang senyum sejuta wattnya.
Ah, tidak, silau sekali. Senyuman dari riajuu paling populer, silau sekali di mataku!!
“Haris, belum balik? Itu apa yang dipegang?”
“Oh, ini? Ini itu—“
Dede langsung melepas tangannya dariku, untuk mengambil benda lonjong aneh yang dipegang oleh Haris.
“Masa gak tau? Liat nih!”
Dia menaruh benda itu di lengannya, kemudian membungkuk seakan sedang melindunginya. Ah, posisi itu—!
“Shin, kali ini aku akan melewatimu!!”
Kalau memang seperti itu, akan kulayani sepenuh hati!
“Majulah, Eyeshield 21!!”
“HEYAAAAAAAAAHHHHH!!!!”
“HOOOAAAAAAAAAAHHHHH!!!!”
“HIYAAAAT!!”
『BLETAK!! 』
『BLETAK!! 』
Akhirnya, kami berdua tumbang di tangan Heni.
“Kayak iya aja ini bola rugby! Coba liat, mana ada bola rugby yang butuh listrik!?”
Heni mengambil benda itu dari tangan Dede, lalu menunjukkan sebuah kabel putih yang tersembung kepada itu.
“Bukan Rugby! American Football!”
“Sama aja!”
“Tapi, benda yang bentuknya oval, ada talinya, juga perlu listrik kan cuma …”
Aku tak berani melanjutkan, Heni menatapku dengan buas.
“Vi*rat*r!!”
『BLETAK!! 』
Asap putih mengepul dari kepala Dede, aku hanya bersyukur karena tidak melanjutkan ucapanku.
“Vibrator?”
“Lah, yang Mput kok malah gak disensor!?”
“Kuhuhuhu. Kau masih tidak mengerti ya, Mori Summer?”
“Mori Sum—!?”
“Itu dikarenakan dia!”
Aku menunjuk Putri, Putri mengeluarkan suara “fuee?” kecil dari mulutnya.
“Tidak mengerti apa yang dia katakan! Jawab aku, apa bahasa Inggrisnya「Gaya Anjing」?”
“Dog Style?”
“Tepat sekali!”
『BLETAK!! 』
“Jangan bikin orang ngomong yang aneh-aneh!”
Aku mengusap kepalaku untuk keempat kalinya, kini benjol di kepalaku sudah beranak dua. Tanpa terlalu memikirkannya aku melanjutkan penjelasanku.
“Konsep untuk menghindari lembaga sensor K*I itu gampang. Segalanya tergantung pada maksud dari ucapan tersebut. Apabila kau menemui anjing di jalan, dengan tenangnya kau bisa mengatakan 「Anjing!」. Namun, berbeda lagi kalau kau mengumpat 「An*ing! 」, lembaga sensor KP* akan mengambil salah satu huruf sebagai tindakan sensor atas apa yang kita ucapkan”
“Bodo amat sama sensor KPI ato apapun itu! Jadi ini tuh sebenernya apa!?”
“Ini mesin pijat. Dulu aku punya satu dirumah. Nanti bergetar kalau disambungkan dengan listrik, getarannya itu akan menghilangkan capek dan pegal”
Dede memukul tangannya setelah mendendengar penjelasan Haris yang baku, seakan berkata “aha!” dengan ekspresinya.
“Tuhkan bener, V*br*tor!!”
“BUKAN!!”
“Tapi, siapa yang pake Vi*ra*or segede ini?”
“DIBILANG BUKAN!!”
“Tapi coba liat, bukannya itu cara nali b**da*e?”
“Bondage?”
“ITU BUKAN CARA NALI BOND*GE!! MPUT JUGA JANGAN NGULANGIN LAGI!!”
Hen, untuk tsukkomi tiga kali beruntunnya, otsukaresama.
Putri tertawa polos setelah itu.
“Habisnya keliatan seru, aku juga kan ingin ikutan”
“Apanya yang seru Mput, apanya!? Yang ada capek doang kalo ngurusin duo idiot kayak mereka!”
Heni terengah-engah di akhir kalimatnya. Wajahnya memerah seperti apel, menjadi semakin manis untuk dilihat. Wajah yang memerah itu melirik kearahku lalu berkata dengan sinis “Apa senyam-senyum!?”
“Enggak. Cuman, kalau lu tau itu bukan cara ngiket bonda*e, bukannya berarti lu tau caranya yang bener gimana? Ditambah lagi, barusan ucapan lu disensor. Berarti—“
“A, apa!? Berarti apa!?”
Wajahnya menjadi semakin memerah lagi, aku benar-benar tak bisa puas melihatnya.
“Eh, ini ujungnya karat ya?”
Dede tiba-tiba menyahut dari belakang kami. Ketika aku berbalik, kabel V*brat*r raksasa itu sudah tercolok di stop kontak.
Si bego itu, ngapain sih dia!?
“Ada apa De?”
“Ini, kabelnya gak mau kecabut. Tapi kalo ditarik paksa, takutnya nanti malah rusak”
“Kalo gitu ngapain pake dicolok segala!? Kalo emang rusak terus bikin konslet gimana!”
“Ya elah, mati lampu ini”
“Ya bukan itu masalahnya, ayo cepet cabut! Aduh, Mput, Ri, bantuin napa!”
Heni terlihat marah. Bukan, lebih tepatnya dia cemas. Hanya saja, seperti inilah cara dia menyampaikan cemasnya. Aku dan Putri berjalan mendekat.
“Iya, iya. Coba, pada minggir bentar. Gua liat dulu”
Aku berjongkok untuk melihat ujung kabel alat pijat ini lebih dekat, benar-benar sudah karatan. Aku heran bagaimana Dede mencolok alat ini dengan karat sebanyak itu. Ini jelas-jelas tidak mungkin.
“Jadi bagaimana Ri? Bisa dicabut?”
“Kalo aja karatnya dikurangin dikit, mungkin bisa dicabut. Pake cuka campur garam, kalo gak salah sih bisa bisa ngilangin karat”
“Cuka sama garam ya? Biar aku ambilkan dari dapur”
“Bentar!”
Aku memberhentikan Haris. Kalau pakai cuka dan garam, mungkin bakal lama sampai benar-benar hilang karatnya. Bisa bahaya kalau listriknya menyala terlebih dahulu.
“Kita cabut bareng-bareng aja, kalau pake cuka takut nyala duluan”
“Bukannya malah putus kalo gitu?”
“Supaya gak putus, gua goyangin ujungnya, kalian yang tarik”
Mereka terdiam, khawatir, aku yakin.
Aku harus memberi satu dorongan lagi.
“Pasti bisa. Jadi ayo cepetan, takut nyala nih”
“… Yaudah kalo gitu. Biar gua sama Haris aja yang narik, cewek mundur aja. Ganggu”
“Gua juga pengen bantu—“
“Hen …”
Aku menatapnya dalam, berharap dia mengerti tanpa diberitahu.
Kami membutuhkan seseorang untuk menarik kami dari arus listrik kalau listriknya menyala, dan aku yakin menarik beban dengan total sekitar 120 kg yang teraliri listrik bukanlah hal yang mudah. Tak mungkin Risti dan Putri melakukannya hanya berdua saja.
Disamping itu, aku tak ingin dia ikut terluka kalau terjadi sesuatu.
Tapi, sepertinya aku berharap terlalu banyak. Cewek lamban seperti dia tidak akan mengerti sebelum diberitahu.
Aku tersenyum.
“Ku ku ku. Kekuatanmu tidak akan berguna bagi kami. Enyahlah kau dari sini!”
“…”
Hening.
Apa aku melakukannya di waktu yang tidak tepat?
Sialan. Suasananya jadi terasa canggung.
“Terserahlah. Ayo Mput, kita liat aja”
Ahirnya, Heni memutuskan untuk mundur.
Yah, yang penting hasilnya sudah tercapai.
Aku genggam sambungan kabel alat ini dengan erat, sementara Haris dan Dede bersiap-siap dengan memegang talinya.
“Siap … tarik!”
Aku menggoyangkan kabelnya dengan kuat, selagi mereka berdua menariknya dengan kuat pula.
“Tahan!”
Mereka tiba-tiba berhenti. Hampir saja, sedikit lagi maka colokanya akan patah. Aku pun memegangya dengan lebih kuat.
“Nariknya sekali hentak aja, takut patah colokannya. Lagi, ayo tarik!”
Mereka menarik lagi, aku juga menggoyangkannya lagi.
“Tarik!”
Terasa bergeser sedikit, kami membuat kemajuan.
“Tarik!”
Sedikit lagi dan alat ini akan benar-benar lepas.
“Ta—“
Lampu kelas menyala.
Ledakan terdengar bising.
Aku memegang tangan kananku yang hendak lepas kendali.
Aku tak percaya ini, kami telah menjadi makhluk abadi. Kekuatan yang luar biasa mengalir dengan deras di dalam tubuhku, juga aura yang begitu kuat meluap-luap dari badanku. Otot-ototku terasa ditimpa ulang. Kakiku terasa amat ringan. Tanganku terasa begitu berisi. Keenam indraku meningkat dengan sangat tajam.
Hal ini tidak mengherankan.
Hal ini dikarenakan jantung kami.
Jantung kami, pusat dari organisasi bernama tubuh kami, memiliki kekuatan yang luar biasa. Kekuatan yang diimpi-impikan setiap makhluk hidup yang ada. Kekuatan yang membuat iri setiap manusia yang mengetahuinya. Kekuatan regenerasi super cepat, yang membuat tubuh kami kembali seperti semula bagaimanapun kami terluka.
Hal ini juga tidak mengherankan.
Hal ini dikarenakan kami adalah lima pemuda pilihan para dewa, ditakdirkan untuk menumpas habis klan iblis yang hendak menghancurkan keseimbangan ketiga dunia—Dunia manusia, neraka iblis, dan tanah para dewa.
Aku, Andri Rusmana, seseorang yang menjadi wadah dari sang mahadewi Andromeda, merupakan satu-satunya manusia yang bisa membunuh raja para iblis, Lucif—Guh!
『BLETAK!! 』
“Aaw!!”
Aku mengusap kepalaku.
Heni memegang gulungan buku matematika dengan erat.
“Bisa berhenti ngayal gak? Juga, Andromeda sama Lucifer itu gak nyambung banget ceritanya”
“Mang napa, Bu Ina-nya juga belom dateng ini kok. Bosen. Kalo aja gak mati lampu, udah ngeces hape kali dari tadi”
Aku bangun dari lututku lalu mengeluarkan handphone dari saku. Sudah tahu mati, buat apa aku keluarkan lagi.Sialan, kalau tahu ada mati lampu seharusnya aku isi dulu tadi.
“Ya bukan berarti harus ngayal sambil pose-pose gak jelas di depan juga kan? Lu tuh ngerusak pemandangan tau”
“Hah? Lu bilang apa? Ngayal? Ini bukan ngayal, Hen. Ini Chuunibyou! Chuunibyou demo, Koi ga shitai!”
Aku membuka eye patch tak terlihatku lalu berteriak “Hancurlah, synapse!!” dan memasang pose keren. Tawa “Huahahaha!!” yang kukeluarkan setelahnya membuat segalanya semakin sempurna.
“Gawat dah, ni anak udah gak ketolong lagi dah. Mput juga, jangan diem aja. Bantuin ngomong apa kek!”
Putri tersenyum dari tempat duduknya.
“Mau ngomong apa Hen? Andri kan udah begitu dari dulu. Lagipula, lucu ini kok diliatnya. Iya kan, Ris?”
Risti mengangguk, tanpa mengalihkan fokusnya dari siomay yang dia makan.
“Tuh”
“Yah, lu kan kenal dia sejak TK. Setidaknya suruh dia berhenti dong”
“Kamu pacarnya aja gak mau didengerin, gimana aku? Duduk aja yuk, nanti juga berhenti”
“Benar itu. Ikuti saja apa kata sang anak merpati. Duduklah kau yang tenang dan saksikanlah kehebatanku ini!”
Aku menyender di papan tulis, tentunya dengan satu tangan menutup mata kiriku agar Black Dragon Eye dalam diriku tidak bangkit dan menimbulkan kekacuan di dunia manusia.
“Anak merpati?”
“Hmm … mungkin maksudnya Hatoko. Hato (鳩) sama Ko (子) bisa diartiin jadi anak burung merpati … Lah, napa malah nyambung kesana?”
“Apa kau masih tidak mengerti juga, Kanzaki Tomoyo!?’
“Kanza—!?”
“Coba perhatikan lagi sekelilingmu! Bacalah situasi dengan baik, dan kau akan mengerti apa yang aku maksud”
Heni memiringkan kepalanya, memasang wajah tidak mengerti. Cewek ini memang tidak pernah bisa membaca situasi dengan benar, tapi anehnya dia bisa nyambung kalau diajak chuuni.
Hm, baiklah, biar kutunjukkan kekuatanku agar dia mengerti. Kuangkat tangan kananku tinggi ke udara, lalu berteriak sepenuh hati.
“Dakulah Andri Jurai!! Membaralah, wahai naga api kegelapan yang tertidur di tangan kananku, DARK AND DAAAAARRKK!!!”
“EEEI!!”
『BLETAAK!! 』
“AAW!!”
“Ippon!”
Rentetan kejadian itu diakhiri dengan Putri mengangkat tangannya keatas seakan-akan dia juri pertandingan Kendo, dan aku baru saja dikalahkan oleh Heni dan buku matematikanya
“Buat apa lagi tadi!?”
Aku memegang kepalaku spontan, sepertinya aku merasakan sebuah benjolan di ujung jariku.
Sialan, si Heni memukul di tempat yang sama dua kali. Ditambah lagi, bagaimana bisa buku matematika jadi sekeras itu!? Emiya Shirou apa!?
“Kita itu PMR, bukan klub literatur yang anggotanya punya kekuatan gak jelas”
“Lah, anggota PMR juga kan pas ada lima. Satu cowok, tiga cewek, satu loli. Sayangnya kita kekurangan satu loli!”
“Lima orang itu kan yang angkatan kita doang. Juga, Dede gak lu itung apa?”
“Hah, Dede mah bukan loli, jadi gak penting”
“Siapa yang gak penting cuk!!”
Ah, baru aja diomongin. Umurnya panjang ni orang.
Dede menekan pangkal jarinya, kemudian memasang wajah sinis sambil berkata dengan sinis pula “Kumohon, jangan jadikan aku seorang pembunuh!”
Tak lama kemudian, dia menyerangku dengan kedua tanganya yang dibentang. Aku pun menahannya sekuat tenaga.
“Apa yang hendak kau lakukan, dasar Ghoul sialaaan!!”
“Berapa 1000 dikurangi tujuh!? Berapa 1000 dikurangi tujuuh!?”
“Muncrat, oy! Iler lu muncrat!! Ngomongnya biasa aja, iler lu muncraaaat!!!”
“Ah, cowok tuh kenapa gak ada yang bener sih!?”
“Rame terus ya, PMR”
Sebuah suara terdengar diantara teriakan dan gelak tawa kami.
Suara ini …
“““Haris!”””
Aku, Heni, dan Putri berkata bersamaan.
“Iya, aku Haris”
Haris memasang senyum sejuta wattnya.
Ah, tidak, silau sekali. Senyuman dari riajuu paling populer, silau sekali di mataku!!
“Haris, belum balik? Itu apa yang dipegang?”
“Oh, ini? Ini itu—“
Dede langsung melepas tangannya dariku, untuk mengambil benda lonjong aneh yang dipegang oleh Haris.
“Masa gak tau? Liat nih!”
Dia menaruh benda itu di lengannya, kemudian membungkuk seakan sedang melindunginya. Ah, posisi itu—!
“Shin, kali ini aku akan melewatimu!!”
Kalau memang seperti itu, akan kulayani sepenuh hati!
“Majulah, Eyeshield 21!!”
“HEYAAAAAAAAAHHHHH!!!!”
“HOOOAAAAAAAAAAHHHHH!!!!”
“HIYAAAAT!!”
『BLETAK!! 』
『BLETAK!! 』
Akhirnya, kami berdua tumbang di tangan Heni.
“Kayak iya aja ini bola rugby! Coba liat, mana ada bola rugby yang butuh listrik!?”
Heni mengambil benda itu dari tangan Dede, lalu menunjukkan sebuah kabel putih yang tersembung kepada itu.
“Bukan Rugby! American Football!”
“Sama aja!”
“Tapi, benda yang bentuknya oval, ada talinya, juga perlu listrik kan cuma …”
Aku tak berani melanjutkan, Heni menatapku dengan buas.
“Vi*rat*r!!”
『BLETAK!! 』
Asap putih mengepul dari kepala Dede, aku hanya bersyukur karena tidak melanjutkan ucapanku.
“Vibrator?”
“Lah, yang Mput kok malah gak disensor!?”
“Kuhuhuhu. Kau masih tidak mengerti ya, Mori Summer?”
“Mori Sum—!?”
“Itu dikarenakan dia!”
Aku menunjuk Putri, Putri mengeluarkan suara “fuee?” kecil dari mulutnya.
“Tidak mengerti apa yang dia katakan! Jawab aku, apa bahasa Inggrisnya「Gaya Anjing」?”
“Dog Style?”
“Tepat sekali!”
『BLETAK!! 』
“Jangan bikin orang ngomong yang aneh-aneh!”
Aku mengusap kepalaku untuk keempat kalinya, kini benjol di kepalaku sudah beranak dua. Tanpa terlalu memikirkannya aku melanjutkan penjelasanku.
“Konsep untuk menghindari lembaga sensor K*I itu gampang. Segalanya tergantung pada maksud dari ucapan tersebut. Apabila kau menemui anjing di jalan, dengan tenangnya kau bisa mengatakan 「Anjing!」. Namun, berbeda lagi kalau kau mengumpat 「An*ing! 」, lembaga sensor KP* akan mengambil salah satu huruf sebagai tindakan sensor atas apa yang kita ucapkan”
“Bodo amat sama sensor KPI ato apapun itu! Jadi ini tuh sebenernya apa!?”
“Ini mesin pijat. Dulu aku punya satu dirumah. Nanti bergetar kalau disambungkan dengan listrik, getarannya itu akan menghilangkan capek dan pegal”
Dede memukul tangannya setelah mendendengar penjelasan Haris yang baku, seakan berkata “aha!” dengan ekspresinya.
“Tuhkan bener, V*br*tor!!”
“BUKAN!!”
“Tapi, siapa yang pake Vi*ra*or segede ini?”
“DIBILANG BUKAN!!”
“Tapi coba liat, bukannya itu cara nali b**da*e?”
“Bondage?”
“ITU BUKAN CARA NALI BOND*GE!! MPUT JUGA JANGAN NGULANGIN LAGI!!”
Hen, untuk tsukkomi tiga kali beruntunnya, otsukaresama.
Putri tertawa polos setelah itu.
“Habisnya keliatan seru, aku juga kan ingin ikutan”
“Apanya yang seru Mput, apanya!? Yang ada capek doang kalo ngurusin duo idiot kayak mereka!”
Heni terengah-engah di akhir kalimatnya. Wajahnya memerah seperti apel, menjadi semakin manis untuk dilihat. Wajah yang memerah itu melirik kearahku lalu berkata dengan sinis “Apa senyam-senyum!?”
“Enggak. Cuman, kalau lu tau itu bukan cara ngiket bonda*e, bukannya berarti lu tau caranya yang bener gimana? Ditambah lagi, barusan ucapan lu disensor. Berarti—“
“A, apa!? Berarti apa!?”
Wajahnya menjadi semakin memerah lagi, aku benar-benar tak bisa puas melihatnya.
“Eh, ini ujungnya karat ya?”
Dede tiba-tiba menyahut dari belakang kami. Ketika aku berbalik, kabel V*brat*r raksasa itu sudah tercolok di stop kontak.
Si bego itu, ngapain sih dia!?
“Ada apa De?”
“Ini, kabelnya gak mau kecabut. Tapi kalo ditarik paksa, takutnya nanti malah rusak”
“Kalo gitu ngapain pake dicolok segala!? Kalo emang rusak terus bikin konslet gimana!”
“Ya elah, mati lampu ini”
“Ya bukan itu masalahnya, ayo cepet cabut! Aduh, Mput, Ri, bantuin napa!”
Heni terlihat marah. Bukan, lebih tepatnya dia cemas. Hanya saja, seperti inilah cara dia menyampaikan cemasnya. Aku dan Putri berjalan mendekat.
“Iya, iya. Coba, pada minggir bentar. Gua liat dulu”
Aku berjongkok untuk melihat ujung kabel alat pijat ini lebih dekat, benar-benar sudah karatan. Aku heran bagaimana Dede mencolok alat ini dengan karat sebanyak itu. Ini jelas-jelas tidak mungkin.
“Jadi bagaimana Ri? Bisa dicabut?”
“Kalo aja karatnya dikurangin dikit, mungkin bisa dicabut. Pake cuka campur garam, kalo gak salah sih bisa bisa ngilangin karat”
“Cuka sama garam ya? Biar aku ambilkan dari dapur”
“Bentar!”
Aku memberhentikan Haris. Kalau pakai cuka dan garam, mungkin bakal lama sampai benar-benar hilang karatnya. Bisa bahaya kalau listriknya menyala terlebih dahulu.
“Kita cabut bareng-bareng aja, kalau pake cuka takut nyala duluan”
“Bukannya malah putus kalo gitu?”
“Supaya gak putus, gua goyangin ujungnya, kalian yang tarik”
Mereka terdiam, khawatir, aku yakin.
Aku harus memberi satu dorongan lagi.
“Pasti bisa. Jadi ayo cepetan, takut nyala nih”
“… Yaudah kalo gitu. Biar gua sama Haris aja yang narik, cewek mundur aja. Ganggu”
“Gua juga pengen bantu—“
“Hen …”
Aku menatapnya dalam, berharap dia mengerti tanpa diberitahu.
Kami membutuhkan seseorang untuk menarik kami dari arus listrik kalau listriknya menyala, dan aku yakin menarik beban dengan total sekitar 120 kg yang teraliri listrik bukanlah hal yang mudah. Tak mungkin Risti dan Putri melakukannya hanya berdua saja.
Disamping itu, aku tak ingin dia ikut terluka kalau terjadi sesuatu.
Tapi, sepertinya aku berharap terlalu banyak. Cewek lamban seperti dia tidak akan mengerti sebelum diberitahu.
Aku tersenyum.
“Ku ku ku. Kekuatanmu tidak akan berguna bagi kami. Enyahlah kau dari sini!”
“…”
Hening.
Apa aku melakukannya di waktu yang tidak tepat?
Sialan. Suasananya jadi terasa canggung.
“Terserahlah. Ayo Mput, kita liat aja”
Ahirnya, Heni memutuskan untuk mundur.
Yah, yang penting hasilnya sudah tercapai.
Aku genggam sambungan kabel alat ini dengan erat, sementara Haris dan Dede bersiap-siap dengan memegang talinya.
“Siap … tarik!”
Aku menggoyangkan kabelnya dengan kuat, selagi mereka berdua menariknya dengan kuat pula.
“Tahan!”
Mereka tiba-tiba berhenti. Hampir saja, sedikit lagi maka colokanya akan patah. Aku pun memegangya dengan lebih kuat.
“Nariknya sekali hentak aja, takut patah colokannya. Lagi, ayo tarik!”
Mereka menarik lagi, aku juga menggoyangkannya lagi.
“Tarik!”
Terasa bergeser sedikit, kami membuat kemajuan.
“Tarik!”
Sedikit lagi dan alat ini akan benar-benar lepas.
“Ta—“
Lampu kelas menyala.
Ledakan terdengar bising.
Angin malam terasa menusuk pori-pori kulit, terpaksa kueratkan lagi pelukanku. Dingin. Aku melihat ke sekeliling, hanya ada kardus bekas yang kini menjadi alasku membaringkan tubuh. Sekarang, kemana aku akan pulang? Ibu, kenapa engkau pergi? Malam itu, aku terlelap dengan air mata yang berlinang.
Pagi belum terang, namun aku harus segera pergi dari tempat ini. Tak ada apapun yang bisa kubawa, hanya sehelai tipis pakaian dan sisa-sisa tangis semalam. Sekarang, aku berjalan tanpa arah. Masuk keluar gang-gang sempit. Pasar-pasar. Orang-orang yang lalu lalang. Siang berganti malam. Kemana aku melangkah? Aku sudah tak memiliki tujuan.
Lapar. Aku sangat, lapar. Kapan terakhir kali aku merasakan makanan? Aku tak bisa mengingatnya. Mulutku sudah kering sejak lama. Aku kini tak bisa merasakan apa-apa. Ibu, apa aku akan menyusulmu? Ah, mungkin lebih baik seperti itu. Lagi pula aku sudah bosan dengan mata-mata itu, mata-mata ‘meremehkan’ itu.
Pandanganku semakin kabur. Ujung-ujung pandanganku menggelap. Aku menggigil. Dingin. Sangat, dingin. Derap langkah kaki terdengar.
“Hey, kau tidak apa-apa? HEY!” Siapa disana? Aku tak bisa melihatnya. Orang itu terus mendekat. “Hey, bertahanlah!” Siapa kau? Aku tak tahu, mataku menggelap. “Al, cepat am –“
Hening.
Gelap.
Mati.
Tunggu, perasaan ini, hangat.
Tubuhku terasa hangat. Aku membuka mataku. Ini, dimana? Kenapa aku berada di atas kasur? Tangan kiriku terasa perih, ada selang putih yang menjulur masuk. Dimana aku? Aku tak bisa bergerak.
“Ooh, kau sudah bangun!” terdengar suara. Sepertinya aku kenal suara itu. Aku ingin melihatnya, siapa disana?
Sebuah rambut muncul, disusul dengan wajahnya. Orang itu ternyata masih kecil. Seorang anak laki-laki. Dia menatapku, aku menatapnya. Dia sedikit lebih tua dariku. Waktupun berlalu dengan cepat. Anak itu seringkali main ke kamarku. Dia menceritakan banyak hal. Aku tidak peduli.
“Hey, kau belum memberi tahuku namamu” ucap anak itu. Aku hanya diam. “Kalau kau tak mau bicara, biar aku yang memberimu nama” aku masih diam. “Baiklah. Akan kupanggil kau ‘Windy’. Karena aku menemukanmu di hari yang berangin (windy day)” aku langsung memalingkan wajahku. Enak saja diberi nama seperti itu, aku juga punya nama tahu!
Anak itu tertawa. Dia tertawa begitu lepas, hingga memegangi perutnya dalam-dalam. Sedangkan aku, aku tercengang. Wajahnya terlihat begitu cerah, aku baru saja menyadarinya. Kini, tujuan hidupku sudah kembali; untuk terus mempertahankan senyum di wajahnya.
•••
“ –dis, Gladis!” Teriakan itu memecah lamunanku.
“Y-ya!” Aku memalingkan wajah, lalu berlari mendekati sumber suara. Aku pasti akan dimarahi lagi.
Benar saja, aku dimarahi habis-habisan. “Jangan pikir karena kau dekat dengan tuan muda, kau boleh seenaknya saja. Mengerti?” ucapnya. Maaf saja, itu bukan salahku, itu salahnya! Karena dia selalu memanggilku ‘Windy-Windy’, sampai aku hampir lupa nama sendiri. Lain kali, tak akan kumpuni dia!
Tapi, belakangan ini ada yang aneh dengan Adrian. Selama dua hari berturut-turut dia pulang dengan keadaan mabuk berat. Setahuku, dia tak kuat minum alkohol. Kira-kira apa yang terjadi sehingga dia seperti itu? Dia juga sudah lama tak terlihat bersama tunangannya, Tiara. Jangan-jangan mereka bertengkar.
Kuambil celana jeans Adrian dari tempat baju-baju kotor. Ada sebuah kertas terselip di kantungnya. Lebih baik kuambil lalu kulihat isinya, bisa gawat kalau kertas ini basah. Kubuka lipatan kertas, isinya kubaca dari yang paling atas. Ini sebuah surat dari Rumah Sakit. Coba kulihat.
‘Tiara Putri Kartika’ Tiara? Tunangannya Adrian? Kubaca terus surat itu.
Golongan Darah.
Beberapa hal yang aku tidak mengerti. Tunggu, apa ini?
‘Kanker Hati’ Tidak mungkin. Tiara yang itu? Lalu, apa yang membuat Adrian stress begitu berat? Jangan-jangan … Oh, tidak! Aku harus segera mencari Adrian. Kutinggalkan cucian lalu berlari keluar rumah. Tak peduli dengan teriakan wanita galak itu.
“ADRIAN!” panggilku. Aku berlari kesana-kemari, berharap dapat menemukan Adrian sebelum apa-apa terjadi. Adrian, dimana kau? Aku terus mencarinya kemana-mana. Hingga sosoknya terlihat di pandanganku. “ADRIAN!” panggilku lagi. Dia menengok. Aku tersenyum, syukurlah dia tidak apa-apa.
Tak lama kemudian, senyumku berubah. Sebuah mobil sedan ternyata sudah berada di belakangnya. Adrian tertabrak.
•••
Halo. Namaku Zaidan Achmad Syahid, kalian boleh memanggilku Zaidan. Umurku baru 5 tahun. Aku punya seorang Abi yang sebenarnya sangat baik. Tapi entah kenapa, belakangan ini dia jadi sering marah-marah. Katanya gara-gara pak RT mengijinkan orang kafir masuk ke perumahan kita. Aku tentu saja tidak mengerti apa yang dikatakan olehnya. Yang aku tahu, tetanggaku bertambah satu lagi.
Namanya, err… Keris tian tian apaa gitu. Aku lupa. Yang pasti, dia anaknya baik. Walau bapaknya galak juga sih, hehe. Tapi dia sering main bareng sama aku. Dia juga takut banget sama kodok, padahal lucu kok. Kami selalu main tiap sore, supaya gak dimarahin sama abi. Gak tau kenapa, abi selalu marah kalau aku bermain bersama dia.
Pernah satu kali aku dipukul sama abi gara-gara ketahuan main bareng dia. Wajah abi begitu seram saat itu. Aku menangis sangat keras, lalu berlari ke umi. Umi lagi kumpul bareng ibu-ibu pengajian.
Aku kasih tau ke umi kalau aku dipukul sama abi. Waktu umi Tanya kenapa abi mukul aku, aku bilang gak tau. Aku cuman lagi main sama Keris. Ibu-ibu pengajian lalu melihat ke arahku. Umi tiba-tiba memukul mulutku keras. Dia lalu meminta maaf ke ibu-ibu yang lain lalu pergi sambil menggendongku.
“Abi, tolong dijaga dong Zaidan! Masa dia main sama orang kafir kayak si Christian itu!?” Aku gak pernah melihat Umi dan Abi bertengkar sebelumnya. Mereka selalu berbicara kalau ada masalah. Tapi hari ini kok beda ya?
“Umi aja yang jaga! Abi sibuk ngurusin pak RT yang gak mau kompromi dengan warga!” Abi membalas perkataan umi. Wajah keduanya terlihat sangat seram.
“JADI ABI MAU ZAIDAN IKUT-IKUTAN JADI KAFIR!?” Umi berteriak. Aku tidak mengerti. Aku hanya ingin bermain dengan Keris. Aku hanya ingi berteman dengannya. Kok jadi ribet gini masalahnya sih?
“ASTAGHFIRULLAH AL-ADZIM! UMI!” Abi ikut-ikutan teriak. Aku menangis sejadi-jadinya. Menarik perhatian mereka. Mereka berdua kemudian terdiam. Abi lalu menghela nafas. “Umi, nanti malam ada rapat warga. Abi harus hadir disana. Jadi tolong jaga rumah dengan baik” katanya.
“Iya Abi” Umi lalu mencium tangan Abi. Wajahnya sudah tidak terlihat seram lagi, sama seperti wajah Abi. Umi lalu mengenggam tanganku. Dia menuntunku kekamar.
“Nggak mau! Zaidan mau ikut Abi!” bantahku.
“Zaidan, kamu gak usah ikut. Disana cuman ada bapak-bapak doang. Nanti kamu bosen lagi” bujuk Umi.
“Pokoknya gak mau!” Umi lalu melirik ke Abi.
“Biarkan saja. Anak-anak yang lain pasti juga berkumpul disana” Jawab Abi. Yaay! Aku ikut bareng Abi! Umi lalu mengelap wajahku dengan tisu basah, lalu mengganti bajuku dengan yang lebih bagus. “Abi berangkat ya Mi, Wassalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam” Jawab Umi. Sebenarnya, aku ikut Abi bukan buat ketemu dengan teman-teman. Tapi untuk melihat kembang api. Karena besok adalah hari raya Tahun Baru Hijriah, pasti akan banyak kembang api.
Ternyata Abi salah, tidak ada anak-anak yang datang ke balai desa. Begitu sampai disana, aku langsung meminta untuk pergi ke lapangan. “Ingin melihat kembang api!” seruku. Abi membolehkan. Aku lalu menonton kembang api sendirian di tengah lapangan.
“Kamu ada disini Zaidan?” Aku menoleh. Ternyata, Keris juga ada di lapangan. Dia memakai baju putih. Dia juga sedang melihat kembang api.
“Iya, Abiku ada rapat katanya” Jawabku.
“Sama dong. Bapakku juga ada rapat” Ucapnya. “Hey Zaidan” aku menoleh.
“Iya?”
“Selamat tahun baru” serunya. Dia mengeluarkan sebuah kembang api.
“Selamat tahun baru juga” jawabku. Keris lalu menggeleng.
“Tidak, tidak. Tahun baruku nanti. Tanggal 1 Januari” aku tidak mengerti. Tapi, biarlah. Akan kuucapkan nanti saja tanggal 1 Januari. Sebagai tanda terima kasihku kepadanya.
Besoknya, Keris pindah rumah lagi. Dia pindah ke tempat yang amat jauh.
Besoknya, Keris pindah rumah lagi. Dia pindah ke tempat yang amat jauh.
Tangan Revan masih menggantung di kerah Adrian. Wajahnya kini menunduk dalam-dalam. Seluruh mata yang berada di koridor kini menatap mereka. Sedangkan Adrian tidak melakukan apa-apa. Revan tidak pernah seperti ini sebelumnya, dia sangat membenci kekerasan.
Perlahan, tangan Revan dia turunkan. Bahunya mulai mengendur, dia berbalik. “Maaf” ucapnya singkat. Revan lalu pergi, meninggalkan Adrian begitu saja.
Mata-mata yang semula menatap mereka kini kembali ke posisi semula, giliran mulut mereka yang bekerja.Adrian langsung menyapukan pandangannya ke seluruh koridor. Seketika, semuanya hening.‘Prince of Sun’ mereka yang seharusnya ramah, kini malah balik menantang.
•••
Sebuah pukulan mendarat begitu saja. Keringat bercucuran membasahi lantai. Walau sudah berjam-jam, Adrian masih saja memukuli sasak tinju itu. Melampiaskan amarahnya pada benda yang tak berdosa.
Buk!
Wajah Tiara tadi pagi terlihat di benaknya.
Buk!
Adegan tadi siang membayangi pikirannya.
Buk!
Adrian menghentikan tinjunya, akhirnya rasa lelah dan penat mulai menghampiri. Dia lalu berjalan keluar dari ruang latihan pribadinya.
“Tuan” seorang gadis datang menyapa.
“oh, Windy, ternyata kau. Bisa tolong ambilkan handuk?” ucap Adrian. Tubuhnya dipenuhi oleh keringat.
“Tentu, tuan” Windy lalu berjalan menuju kamar Adrian. Adrian menatapnya dengan tersenyum. Sejauh ini, hanya Windy yang sudah ia beri senyuman. Gadis itu sudah seperti adik kecil baginya. Adrian tersenyum lagi. Tak lama kemudian, Windy datang dengan sehelai handuk kecil. “Ini, tuan”
“Jangan panggil aku ‘tuan’, itu agak mengganggu” Adrian membuka bajunya, mengelap seluruh tubuhnya dengan handuk tersebut.
“Kalau begitu, tuan seharusnya berhenti memanggilku ‘Windy’. Nama itu sangat tidak lucu” Adrian tiba-tiba mencubit pipi Windy keras. Yang dicubit berteriak pelan.
“Kalau bukan ‘Windy’ apa lagi, jelek?” Dia masih mencubit pipi Windy, ia bisa tertawa sekarang. Windy memasang muka jengkel. Adrian lalu melepaskan cubitannya. “Terima kasih” gumamnya.Windy terdiam sebentar.
“Tidak, sayalah yang berterima kasih” tukasnya “Kalau saja tuan waktu itu tidak –“ Adrian langsung mencubitnya lagi, membuat Windy tak menyelesaikan perkataannya.
“Sudah kubilang, jangan panggil aku ‘tuan’, jelek” Kali ini dengan dua tangan. Membuat Windy mengeluarkan suara yang tidak terlalu jelas. Adrian kembali tertawa.
•••
Adrian memainkan jarinya, tidak sabar menunggu Revan dan Tiara. Dia cek HP berulang kali, tak ada panggilan masuk ataupun SMS. Suara percakapan orang lain memenuhi langit-langit cafe. Adrian lalu mengedarkan pandangannya.Satu-dua orang terlihat melirik kearahnya beberapa kali. Kali ini, ia tidak membalas.
Pintu kafe dibuka lebar, Revan dan Tiara berjalan beriringan. Tangan mereka berdua terpaut erat.Adrian mematung. Mereka berdua lalu duduk di kursi didepan Adrian.Adrian melirik tangan Tiara sekilas, tak ada cincin yang melingkar disana.
Suasana disana tiba-tiba terasa canggung. Baik Adrian, Revan, maupun Tiara tak ada yang mengangkat suara. Seorang pelayan datang untuk menaruh minuman.Adrian menganggu berterima kasih. Pelayan itu membalasnya.
“Kami akan pergi ke luar negri” ucap Revan tiba-tiba.Membuat Adrian terhentak.Dia lalu membanting tangannya di meja.
“Apa maksudnya kalian bakal ke luar negri?” Hening, tak ada yang menjawab.Adrian kembali duduk “Kemana? Kemana kalian bakal pergi?”
“Lo gak ngerti ya Ad? Kita ke pergi buat menjauh dari lo. Percu –“ Sekali lagi, meja itu dipukul Adrian dengan keras. Seluruh suara hilang seketika. Semua mata menatap mereka bertiga.
“Rev, gua tunggu diluar” Adrian berjalan menuju pintu masuk, tak memperdulikan orang-orang yang melihatnya. Revan berjalan mengikuti.
“Ada ap –“ sebuah tinju melayang tepat mengenai wajah Revan. Revan jatuh tersungkur, tak siap menerima pukulan itu. Adrian lalu mengangkat kerah Revan. Dia tidak mengatakan apa-apa, wajahnya menunduk dalam.
Plak! Tamparan telak mengenai muka Adrian.Terlihat, Tiara menangis. “Ayo Van, kita pergi” Dia menarik tangan Revan. Menjauh dari Adrian.Namun, Revan sempat meninggalkan sesuatu di saku baju milik Ad.
Adrian terduduk.Ia baru saja ditinggal pergi oleh kedua sahabatnya. Kertas kecil terlihat menyebul keluar dari saku bajunya.Ia buka lipatan kertas itu lalu mulai membaca. “Tidak mungkin” Dia mulai berteriak keras. Memangil-manggil nama Tiara.
Perlahan, tangan Revan dia turunkan. Bahunya mulai mengendur, dia berbalik. “Maaf” ucapnya singkat. Revan lalu pergi, meninggalkan Adrian begitu saja.
Mata-mata yang semula menatap mereka kini kembali ke posisi semula, giliran mulut mereka yang bekerja.Adrian langsung menyapukan pandangannya ke seluruh koridor. Seketika, semuanya hening.‘Prince of Sun’ mereka yang seharusnya ramah, kini malah balik menantang.
•••
Sebuah pukulan mendarat begitu saja. Keringat bercucuran membasahi lantai. Walau sudah berjam-jam, Adrian masih saja memukuli sasak tinju itu. Melampiaskan amarahnya pada benda yang tak berdosa.
Buk!
Wajah Tiara tadi pagi terlihat di benaknya.
Buk!
Adegan tadi siang membayangi pikirannya.
Buk!
Adrian menghentikan tinjunya, akhirnya rasa lelah dan penat mulai menghampiri. Dia lalu berjalan keluar dari ruang latihan pribadinya.
“Tuan” seorang gadis datang menyapa.
“oh, Windy, ternyata kau. Bisa tolong ambilkan handuk?” ucap Adrian. Tubuhnya dipenuhi oleh keringat.
“Tentu, tuan” Windy lalu berjalan menuju kamar Adrian. Adrian menatapnya dengan tersenyum. Sejauh ini, hanya Windy yang sudah ia beri senyuman. Gadis itu sudah seperti adik kecil baginya. Adrian tersenyum lagi. Tak lama kemudian, Windy datang dengan sehelai handuk kecil. “Ini, tuan”
“Jangan panggil aku ‘tuan’, itu agak mengganggu” Adrian membuka bajunya, mengelap seluruh tubuhnya dengan handuk tersebut.
“Kalau begitu, tuan seharusnya berhenti memanggilku ‘Windy’. Nama itu sangat tidak lucu” Adrian tiba-tiba mencubit pipi Windy keras. Yang dicubit berteriak pelan.
“Kalau bukan ‘Windy’ apa lagi, jelek?” Dia masih mencubit pipi Windy, ia bisa tertawa sekarang. Windy memasang muka jengkel. Adrian lalu melepaskan cubitannya. “Terima kasih” gumamnya.Windy terdiam sebentar.
“Tidak, sayalah yang berterima kasih” tukasnya “Kalau saja tuan waktu itu tidak –“ Adrian langsung mencubitnya lagi, membuat Windy tak menyelesaikan perkataannya.
“Sudah kubilang, jangan panggil aku ‘tuan’, jelek” Kali ini dengan dua tangan. Membuat Windy mengeluarkan suara yang tidak terlalu jelas. Adrian kembali tertawa.
•••
Adrian memainkan jarinya, tidak sabar menunggu Revan dan Tiara. Dia cek HP berulang kali, tak ada panggilan masuk ataupun SMS. Suara percakapan orang lain memenuhi langit-langit cafe. Adrian lalu mengedarkan pandangannya.Satu-dua orang terlihat melirik kearahnya beberapa kali. Kali ini, ia tidak membalas.
Pintu kafe dibuka lebar, Revan dan Tiara berjalan beriringan. Tangan mereka berdua terpaut erat.Adrian mematung. Mereka berdua lalu duduk di kursi didepan Adrian.Adrian melirik tangan Tiara sekilas, tak ada cincin yang melingkar disana.
Suasana disana tiba-tiba terasa canggung. Baik Adrian, Revan, maupun Tiara tak ada yang mengangkat suara. Seorang pelayan datang untuk menaruh minuman.Adrian menganggu berterima kasih. Pelayan itu membalasnya.
“Kami akan pergi ke luar negri” ucap Revan tiba-tiba.Membuat Adrian terhentak.Dia lalu membanting tangannya di meja.
“Apa maksudnya kalian bakal ke luar negri?” Hening, tak ada yang menjawab.Adrian kembali duduk “Kemana? Kemana kalian bakal pergi?”
“Lo gak ngerti ya Ad? Kita ke pergi buat menjauh dari lo. Percu –“ Sekali lagi, meja itu dipukul Adrian dengan keras. Seluruh suara hilang seketika. Semua mata menatap mereka bertiga.
“Rev, gua tunggu diluar” Adrian berjalan menuju pintu masuk, tak memperdulikan orang-orang yang melihatnya. Revan berjalan mengikuti.
“Ada ap –“ sebuah tinju melayang tepat mengenai wajah Revan. Revan jatuh tersungkur, tak siap menerima pukulan itu. Adrian lalu mengangkat kerah Revan. Dia tidak mengatakan apa-apa, wajahnya menunduk dalam.
Plak! Tamparan telak mengenai muka Adrian.Terlihat, Tiara menangis. “Ayo Van, kita pergi” Dia menarik tangan Revan. Menjauh dari Adrian.Namun, Revan sempat meninggalkan sesuatu di saku baju milik Ad.
Adrian terduduk.Ia baru saja ditinggal pergi oleh kedua sahabatnya. Kertas kecil terlihat menyebul keluar dari saku bajunya.Ia buka lipatan kertas itu lalu mulai membaca. “Tidak mungkin” Dia mulai berteriak keras. Memangil-manggil nama Tiara.