Archive for 2014
Part V
Aku menjauh dari kaca selama berhari-hari. Bukan hanya kaca, segala yang memantulkan bayangan kuusir jauh-jauh. Aku bahkan tidak berani meminum air. Karena aku tahu jelas apa yang dia katakan saat itu. Aku bisa membaca bibirnya. Apa maksudnya dia mengatakan itu sekarang?
Luka itu masih ada. Kusentuh berkali-kali. Aku masih tak mengerti arti dari semua ini. Namun, aku tahu satu hal. Aku berada dalam tubuh kakakku. Kusentuh lagi luka itu. Tubuhku terjebak di dalam kaca. Aku masih menyentuh luka itu. Dan kakakku memakai tubuhku.
Aku tak bisa tenang. Siapa yang bisa tenang? Aku sama sekali tidak tidur berhari-hari. Aku tak ingin kembali ke mimpi itu. Obat-obatan juga tidak berguna. Mereka hanya memperburuk situasi. Aku tak punya pilihan lagi.
Tunggu, aku masih punya satu. Aku masih punya satu pilihan lagi. Aku bangkit. Kulangkahkan kakiku ke kamar mandi. Walau dengan begitu, aku mungkin melanggar apa yang dia katakan. Kutetapkan hati. Aku lelah menunggu. Biar kulawan apa yang akan datang. Walau dengan begitu, aku mungkin terluka lagi.
Cermin itu tidak memantulkan bayanganku. Kucoba memasukkan tanganku kedalamnya. Aku menelan ludah. Dugaanku benar. Baiklah, aku akan masuk. Aku akan masuk. Jantungku berdebar kencang. Aku akan masuk kesana. Kakiku gemetar. Aku akan kesana. Aku akan berada disana. Aku akan terjebak disana. Kutelan ludahku. Aku sudah disana.
Adrian berhenti
sejenak, menyeruput coklat panasnya. Aku masih terdiam.“Apa yang kau rasakan
saat itu?” tanyaku kemudian.
“Entahlah”
jawabnya “antara kaget, kecewa, dan senang, mungkin?” Dia lalu menaruh cangkirnya
diatas meja. “Baiklah. Karena sudah selarut ini, kenapa kita tidak tidur saja
dulu?” ajaknya.
Dia akan terjaga
semalaman dan tidak ingin diganggu. “Oke” jawabku. Akupun berjalan kekamar,
disusul Adrian di belakang. Kami berbagi kehangatan satu sama lain didalam
selimut. Ketika dia yakin aku sudah
tidur, dia menyelinap keluar.
Dia mengelus
rambutku lalu mengecup keningku. Kemudian berjalan kembali ke ruang tengah,
menghabiskan coklat yang barusan ditinggalnya. Entah untuk berapa lama. Kubiarkan
dia melakukannya, dia juga butuh waktu.
•••
Pertunangan itu
terjadi tidak lama kemudian. Banyak tamu undangan menghadiri perjalinan antara
kedua Keluarga kaya itu. Keluarga Wijaya memang dikenal menjalin hubungan baik
dengan keluarga Kartika, juga dengan keluarga Nugraha. Tidak heran jika Adrian
Kusuma Wijaya, Tiara Dini Kartika,dan Revan Satria Nugraha sudah bersahabat
sejak kecil.
Adrian berjalan
keluar dari ruangan, menuju beranda. Angin malam menerpa wajahnya
seketika. Senyum kecil menyungging diwajahnya. Revan yang melihatnya lalu
berjalan mendekati.
“Yo” sapanya. “Selamat
atas pertunangan lo bro” Revan mengangkat gelasnya sedikit.
“Thanks” Mereka
berdua bersulang lalu meneguk minuman masing-masing, yang isinya hanyalah soda.
“Jujur gua masih
gak nyangka. Bisa-bisanya ya lo dijodohin sama cewek yang lu suka dari kecil?”
ucap Revan. Posisinya menghadap luar, bersandar menggunakan siku. Sedangkan
Adrian menatap Tiara yang sedang bercakap-cakap didalam. “Bisa-bisa gua
ditinggal sendirian, lagi”
“Tenang aja
bro. Bukannya dari kecil kita selalu
bertiga? Gak mungkin gua ninggalin lo. Lagi pula kenapa lo gak nyari pacar
juga? Biar bisa double date gitu” Adrian memukul pelan bahu Revan. Revan
tersenyum getir.
“Tapi emang
bener kata lo Van, ini kayak mimpi jadi kenyataan” ucap Adrian tiba-tiba.
Wajahnya melihat bintang dilangit sana. Sedangkan Revan menunduk, wajahnya
terlihat agak murung.
“Jadi kalian
berdua ada disini. Cepat masuk, acara utamanya sudah mau dimulai” Seorang
laki-laki datang menegur. “Kamu Adrian, bersiaplah. kau ditunggu dibelakang
panggung” laki-laki itu lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
“Lo duluan, gua
masih pengen disini” Ucap Revan. Adrian lalu berjalan memasuki ruangan. Revan
melihatnya sambil tersenyum. “Jadi, gua benar-benar sendiri sekarang” gumamnya.
Adrian berdiri
di atas panggung ditemani ayahnya. Dia menunggu Tiara dengan tak sabar. Sedangkan
Tiara sedang berjalan dari pintu masuk. Para tamu undangan berdiri berjejer di
samping kiri-kanan jalan utama yang diberi karpet. Acara menjadi lebih seperti
pernikahan daripada pertunangan.
Musik berayun
dengan lembut. Adrian meraih tangan Tiara, membantunya untuk naik ke panggung.
Senyuman para hadirin menghiasi seluruh
ruangan. Adrian lalu membuka kotak cincin yang sudah dipersiapkan. Dia
memasangkan cincin itu di jari manis Tiara. Tiarapun melakukan hal yang sama.
Tangan mereka berdua bertaut dengan erat. Kebahagiaan mengisi malam itu dengan
sempurna.
•••
Aku tak bisa
menghentikan air mata. Kenangan itu terus saja berulang di benakku. Coklat
panasku sudah habis sejak tadi. Kulirik jam dinding sejenak. “sudah jam
setengah 3 ternyata” gumamku. Akupun
bangkit lalu berjalan ke kamar.
Istriku sedang tidur disana. Wajahnya begitu damai,
membuat hatiku tentram seketika. “Sungguh beruntung aku bertemu denganmu”
bisikku. Dia sama sekali tak terusik. Aku tersenyum. Kugenggam tangannya dibalik
selimut. Lalu mulai memejamkan mata.
•••
“Cheers!” Adrian
mengangkat gelasnya.
“Cheers!” jawab
Revan dan Tiara serempak. Mereka bertiga mengadu gelas masing-masing lalu mulai
meminum. Kali ini, alkohol yang mereka minum. Satu bulan penuh sudah lewat sejak
pertunangan itu. Kini mereka merayakan hari jadinya.
“Sekali lagi
selamat buat kalian berdua” ucap Revan. Dia hanya meneguk sedikit minumannya.
“Thanks man”
jawab Adrian. Wajahnya memerah, gelasnya pun kosong. Dia yang tak kuat meminum
alkohol menegak habis isi gelasnya. “Jadi kapan lo punya pacar? Gak seru kalau lo
cuman ngeliatin doang" Revan tertawa kecil.
“Dasar aneh
lo. Mabuk gara-gara anggur segelas” Tiara menimpali.
“Dan lo lebih
aneh. Mau aja ditunangin sama orang kayak gua. Hm?” Adrian tersenyum jahil ke arah
Tiara. Belum sempat Tiara mebalasnya, Adrian sudah mengecup pipinya pelan. Seketika
itu juga dia terdiam. Mukanya memerah.
Revan tersenyum
pahit. “Kalian itu pasangan yang aneh” ucapnya menengahkan. Dia lalu
menghabiskan minumnya. “Udah selarut ini, gua pengen balik duluan. Bye” Revan
mengambil tasnya.
“Ah, jangan. Gua
udah mabuk, biar gua duluan aja. Lo yang nganterin Tiara balik” ucap Adrian. “Nih
kunci mobil gua, gua naik taksi” katanya lagi. Adrian lalu pergi meninggalkan
mereka berdua, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu.
…
Cahaya matahari
menyelinap masuk kamar Adrian, memaksanya untuk membuka mata. Dia masih sedikit
mabuk. ‘aku benar-benar tak kuat minum alkohol ’pikirnya. Dia merangkak keluar
dari kasurnya.Meregangkan sedikit tubuhnya.Lalu berjalan menuju kamar mandi.
Adrian menutup
pintu rumahnya pelan. Dia berjalan menuju sekolah, mobilnya masih di Revan.
Bibirnya tak bisa berhenti tersenyum, dia terus saja membayangkan wajah Tiara
semalam, saat dia mengecup pipinya. Sungguh menggemaskan. Tiba-tiba saja, yang
diharapkan muncul dari arah yang berlawanan.
“Tiara!” Panggilnya,
dia melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Sedangkan Tiara tidak bereaksi sama
sekali. Wajahnya menunduk dalam. Langkahnya berat. Dia berjalan berlawanan arah
dengan Adrian. Adrian berlari mendekatinya.
“Halo,
Tiara?" Adrian menepuk bahu Tiara pelan. Tiara mengangkat wajahnya, Adrian
tersentak. Air mata. Tidak, bukan hanya itu, wajahnya sangat pucat. Adrian menelan
ludah.“H-halo, Tiara? Aku memanggilmu dari tadi”
Tiara kembali
menunduk. Dia dengan cepat berjalan melewati Adrian, kemudian berhenti
tiba-tiba. “Adri –“ tak jadi, dia
kembali melangkah. Lalu mulai berlari.
Adrian hendak
mengejarnya, namun sebuah mobil sport datang menghampiri. Itu mobilnya. Revan
menjemputnya.
Selama
perjalanan, baik Adrian maupun Revan, sama sekali tidak bersuara. Revan menatap
keluar jendela, melihat jalanan. Dia melihat dengan tatapan kosong, dan
ekspresi yang tak bisa dijelaskan. Adrian yang menyupir. Melihat Revan yang
seperti itu, dia menjadi enggan.
Suasana di kelas
tak jauh beda. Revan mengunci mulutnya rapat-rapat. Sedangkan Adrian terus saja
bertanya-tanya di dalam hati apa yang sebenarnya terjadi. Kelas yang seharusnya
ceria, melihat kedua pangeran mereka terdiam, menjadi terasa canggung.
Bel tanda
istirahat berdering. Revan langsung berdiri menjauhi mejanya, berjalan ke
kantin. Adrian yang mulai tak tahan, akhirnya berjalan menyusul.
“Hey”
panggilnya. Revan tak berkutik. “Hey! Apa yang sebenarnya terjadi?” Seketika itu
juga, Revan berbalik. Matanya menatap Adrian dengan tajam. Tangannya mengangkat
kerah Adrian tinggi.
Part IV
Aku
terbangun. Jantungku berdegup dengan kencang. Nafasku tersengal-sengal.
Keringat mengalir deras. Itu hanya mimpi. Benar, hanya sebuah mimpi. Aku
mengusap rambutku. Menggenggam erat seprai kasur. Menenangkan diri. Melirik jam
Analog di samping kasur. Aku terbangun
pukul 3 pagi.
Apa yang
akan kulakukan sekarang? Aku tak ingin kembali tidur. Tak ingin kembali ke
mimpi itu. Tak ingin mengetahui jika itu bukanlah mimpi. Aku memutuskan untuk
mandi. Menyegarkan pikiran. Aku melepas seluruh pakaianku tanpa terkecuali.
Lalu berjalan memasuki kamar mandi.
Aku
tersentak. Tubuh itu. Tubuh yang berada di dalam kaca itu. Tubuhku. Terdapat
sayatan benang di tubuhku. Banyak. Sangat banyak. Refleks, kupegang leherku.
Ada! Sangat terasa di ujung jari. Sebuah luka bekas gigitan. Luka yang sangat
dalam. Luka itu tidak muncul di cermin.
Aku
terjatuh. Aku kaget. Bukan karena luka itu, melainkan bayanganku. Dia terdiam.
Dia berdiri. Dia menatapku. Dia mengatakan sesuatu. Aku tak bisa mendengarnya.
Dia menghilang.
Maafkan aku Gladis, aku masih tak bisa melupakannya” Adrian mengelus perutku dengan lembut. Wajahnya terlihat sangat sedih.
“Tidak apa” Aku menggenggam tangan hangatnya. “Aku mengerti kok” Dia tersenyum. Adrian kemudian duduk di sofanya, berhadapan denganku. Dia menatapku dalam-dalam dengan perasaan bersalah.
“Ceritakan saja. Dengan begitu, kau mungkin akan merasa baikan” saranku. Adrian terdiam. “Ceritalah, aku akan menerimanya” aku menetapkan hati. Diapun mulai kisahnya. Kisah tentang tiga orang sahabat.
•••
Suasana kelas gaduh seperti biasa. Biarpun bel masuk sudah lama berbunyi, para murid tetap sibuk kesana kemari.Mengerjakan PR yang seharusnya sudah selesai sejak kemarin.
“Pak Konta datang!” Seru seseorang. Seketika itu juga, mereka langsung membereskan pekerjaannya, kembali ke tempat duduk masing-masing. Kelas menjadi sangat tertib, jauh lebih tertib dari biasanya.
“Selamat pagi” Seorang pria berjalan memasuki ruang kelas.
“Selamat pagi pak” Jawab mereka serempak. Suasana tegang terlihat jelas di wajah mereka.
“Mulai hari ini, ada murid baru yang akan belajar bersama kita” Ucap pria itu, mengendurkan sedikit bahu-bahu yang semula tegang. “Kamu, masuklah. Perkenalkan dirimu didepan teman-temanmu” sedetik kemudian, seorang lagi datang memasuki kelas.
“Perkenalkan, nama saya Adrian Kusuma Wijaya, biasa dipanggil Adrian. Mohon bimbingannya” anak itu tersenyum. Seisi kelas terpana olehnya.
“Pilih tempat dudukmu” Anak itu mengedarkan pandangan, mencari tempat yang kosong. Sedangkan seluruh kelas menatapnya. Matanya tiba-tiba terhenti di wajah seseorang yang dia kenal.
“Revan!” Dia mengangkat tangan. Yang disapa mengangguk sambil tersenyum. Adrian lalu berjalan ke arah Revan, yang disapanya tadi. Dia kemudian duduk disampingnya, yang kebetulan kosong. “gak nyangka gua lo ada disini” anak yang dipanggil Revan itu mengangangkat tangannya, menaruhnya didepan bibir, menyuruhnya untuk diam.
“Pelajaran akan dimulai” jelasnya.Adrian lalu melihat kesekeliling. Wajah-wajah tegang itu kembali.
“Kumpulkan buku kalian”. ‘gulp’ Telanan ludah terdengar bersamaan. Para murid lalu mulai mengumpulkan hasil jerih payahnya. Pelajaranpun dimulai.
...
“Woah, apa itu tadi?” Bel istirahat berbunyi. Adrian membereskan bukunya, justru rambutnya yang berantakan.
“Welcome to the hell, dude” Revan tersenyum. Rambutnya juga tak teratur, sama seperti seisi kelas. Sebuah badai baru saja berlalu, membawa sebuah badai lainnya. Dengan Adrian sebagai mata badai.
•••
“Kau pasti bersenang-senang saat itu. Dikelilingi oleh gadis-gadis satu kelas” Gladis menyelaku. Pipinya menggembung, matanya menyipit. Sebuah kebiasaan yang ditirunya dari komik-komik kesukaannya. Aku tersenyum.
“Tentu saja, siapa yang tidak coba?” jawabku memancing amarahnya. Dia memalingkan wajah kesamping. Sungguh kebiasaan yang menggemaskan. Aku melanjutkan cerita.
•••
“Jadi lo pindah kesini Ad?” Seorang wanita bertanya pada Adrian. Yang ditanya masih menegak minumnya.
“Yoi, gua yang minta ke bokap. Gak seru kalo gak bareng lo berdua” jawabnya. Adrian lalu melihat ke sekeliling kantin, menjawab dengan senyum para gadis yang meliriknya.
“Lo masih caper kayak biasa” Ucap wanita itu lagi.
“Jadi, apa lo mulai cemburu?” Adrian menggodanya. Wajah jahilnya terlihat jelas.
“Jelas enggak lah! Setan!” Tiara memukul Adrian keras. “Coba lo tiru Revan sedikit. Dia gak pernah caper ke cewek lain. Gak kaya seseorang” Revan terus menyeruput esnya. Dia tersenyum.
“Sekarang gua pikir-pikir lagi. Van, lo sebenarnya punya pacar gak sih? Selama kita hangout yang lo lakuin cuma ngeliatin doing” Bola panas seketika dioper ke Revan. “Sejak kecil lo kayak gitu. Apa lo gak bosen?”
“Sori, gua udah puas walau cuman nontonin kalian berdua. Jadi, lanjutkan saja. Gua menikmati kok” jawabnya.
“Dasar freak lo” Bel tiba-tiba berdering. “Sial. Dah masuk lagi. Sori, gua duluan ya. Bye” Tiara kemudian bangkit dari duduknya lalu bergegas menuju kelas. Meninggalkan Adrian berdua bersama dengan Revan.
“Jadi, kenapa lo pindah tepatnya?” Revan angkat suara.
“Lo tau jawaban tepatnya” jawab Adrian.
“Tiara?” Dia mengangguk. “Lo benar-benar gak mengenal kata menyerah ya?” Revan menghabiskan minumnya.
“Lo yang bilang begitu” mereka lalu meninggalkan kantin, kembali menuju ruang kelas.
...
Adrian berjalan memasuki rumahnya. “Aku pulang” Tak ada yang menjawab. Tiba-tiba, terdengar derap langkah kaki memenuhi ruangan.
“Tuan Adrian, anda sudah pulang?” Seorang wanita datang menyambutnya. Adrian hanya mengangguk. “Anda ditunggu oleh Tuan Wijaya” ucapnya lagi. “Sini, biar saya bawakan tas anda”
“Windy,” Panggil Adrian. Wanita itupun menengok. “Tak usah, biar aku yang menaruhnya”
“Baik tuan” Windy lalu melepaskan tangannya. Adrian berjalan kekamar. Menaruh tasnya. Mengganti baju. Lalu berjalan keluar.
“Windy, dimana ayah?” Tanyanya.
“Beliau ada di ruang kerja. Sedang mengurus proposal” Adrian lalu pergi ke tempat yang dimaksud, menemui ayahnya.
Ketika sampai didepan ruangan yang dimaksud, dia mengetuk pintu lalu mengintip kedalam “Ayah, kau memanggilku?” ucapnya.
“Oh, kau sudah pulang Adrian” Pak Wijaya kemudian menunjuk kursi didepannya. “Masuklah, duduk disini, ada yang harus aku sampaikan padamu” Adrian duduk didepan ayahnya. “tunggulah sebentar” ucapnya lagi.
Selesai pekerjaanya, pak Wijaya menengok kearah Adrian. Dia mulai menjelaskan sesuatu. Adrian yang semula serius, lama-lama mengangkat alisnya. Dia mengerti kemana arah pembicaraan ini. “…Oleh karena itu, Adrian. Kau dan Tiara akan di tunangkan sesegera mungkin”
•••
Part III
Aku tertahan. Puluhan, tidak, ratusan benang menangkapku. Membuatku tersangkut diantaranya. Seluruh tenagaku hilang. Aku tak bisa menggerakan tubuh. Bahkan membuka mata saja tak mampu. Aku bisa merasakan tiap-tiap benang di tubuhku. Dengan kata lain, aku tidak lumpuh. Tidak pula mati. Pasti sedang bermimpi. Ya! Aku sedang bermimpi. Lucid Dream.
Mataku masih tak mau membuka. Seluruh tenagaku benar-benar hilang. Mimpi ini sungguh merepotkan. Bukankah seharusnya aku bebas melakukan apa saja? Kenapa aku malah tak bisa melakukan apa-apa? Setitik cahaya tiba-tiba menyelusup kelopak mataku. Menyerang retinaku. Aku membuka mata!
Dimana aku? Seluruh ruangan berwarna putih. Benang-benang yang melilitku ternyata menggantung dari atas, tidak terlihat ujungnya sama sekali. Tenagaku masih belum kembali. Posisiku sedang telentang, tentu saja aku bisa melihat benang-benang itu. Tunggu, bagaimana jika ini bukan mimpi? Bagaimana jika inilah kenyataan? Bagaimana jika aku terjebak disini selamanya? Aku panik. Aku sama sekali tak bisa menenangkan diri, aku panik!
Tenang! Sekarang, aku harus tenang. Tarik nafas... Tarik nafas... Aku tidak Bernafas!? Sama sekali tidak bernafas! Detak jantungpun tidak terdengar! Tuhan! Bagaimana ini? Tidak, jangan panik. Pasti ada penjelasan yang masuk akal. APANYA YANG MASUK AKAL!? Sekarang aku tidak bernafas dan bergantung seperti boneka tali. Boneka tali...
Sesuatu datang dari atas, aku bisa merasakan benang-benang bergoyang. Dia bergelayutan turun ke arahku. Aku salah. Itu bukan dia, tapi aku. Seseorang dengan wajahku, rambutku, tubuhku, pakaianku. Hanya satu yang membedakan, luka di leher kanan. Itu kakakku. Dia datang untuk mengambilku. Tangannya terus saja mendekat, hingga menutupi seluruh wajah. Aku tak bisa melihat apa-apa. Semuanya menggelap.
Part II
Ini hanya ilusi. Ya, aku yakin aku
sedang berhalusinasi. Aku tidak mungkin kakakku. Kuambil sebuah kaca kecil
didalam kotak obat. Kulihat lagi luka itu lebih dekat. Itu benar luka bekas
gigitanku. Lukanya sangat dalam. Kusentuh tempat luka itu. Tidak ada. Benar-benar
tidak ada.
Aku mengambil obatku, kutelan
dalam-dalam. Kugunakan air wastafel untuk mendorongnya. “Uhuk! Uhuk!” SIAL! Aku
tidak boleh panik! Kutelan lagi obatku, lalu mendorongnya dengan air. Ingatlah,
nafas, nafas. Tenanglah. Ini hanya ilusi.
Kulihat lagi kedalam kaca, luka itu
masih disana. Tenanglah, obat ini membutuhkan waktu. Tarik nafas, keluarkan.
Tarik nafas, keluarkan. Tenanglah. Itu hanya ilusi. Kupaksakan diriku berjalan
kekasur. Aku harus kembali ke kenyataan. Kurebahkan diriku diatas kasur.
Kupejamkan mata. Aku harus tertidur.
Tanganku masih saja memegangi leher,
memastikan luka itu tidak ada. Aku gelisah. Pikiranku kacau. Aku harus
memastikannya sekali lagi. Tapi, mataku terasa sangat berat. Aku tak bisa
membukanya! Kesadaranku ditarik kebawah. Kedalam jurang tanpa dasar.
•••
“…Na,
Sadarlah!” seseorang menampar pipiku berkali-kali. Apa yang sedang kulakukan
disini? Aku membuka mata lalu bangun untuk duduk. Aku berada di taman.
“Nona,
anda tidak apa-apa? Apa anda merasa mual? Ada bagian yang sakit?” pria ini
bertanya seolah dia mencemaskanku.
“aku tidak
apa-apa, hanya anemia” aku berdiri lalu membersihkan bajuku “terima kasih” aku
menundukkan kepalaku sedikit. Aku
berjalan menjauh pria itu.
Langit
terlihat agak mendung. Angin bertiup pelan. Namun, rasa dingin tidak juga
menyerangku. Setelah kuperhatikan lagi, aku sedang memakai sebuah jaket.
Mungkin jaket milik pria tadi. Apa perlu kukembalikan? Mungkin lain kali saja,
aku lebih membutuhkannya dari pada dia.
Aku
memasukkan tanganku dalam-dalam ke saku jaket. “Hangat” gumamku.
Hangat
Eh, aku
seperti pernah merasakan ini sebelumnya.
Hangat
Sebuah
bayangan berkelebat di pikiranku.
Hangat
Suaraku
terdengar berulang kali.
Hangat
Sebuah
kejadian, sebuah kenangan, aku mengalami Déjà vu berkali-kali. Ujung jariku
menyentuh sesuatu dari logam. Kuambil benda itu, sebuah jam saku perak.
Seketika itu juga, aku mengingat sesuatu. Berkali-kali.
Aku
mengingat dia menolongku. Aku mengingat dia menyapaku. Aku mengingat dia
bersamaku. Aku mengingat dia. Aku mengingat semuanya.
Segera
kubalikkan badanku. Kukejar Danu yang kutinggalkan begitu saja. Gerimis mulai
turun. Dia seharusnya belum pergi jauh.
Danu
sedang berjalan memunggungiku. Dia menyilangkan tangannya didada, mengigil
kedinginan. Segera kupeluk dirinya dengan erat.
“e-eh, ada
apa ini” dia menjadi gugup.
“tolong, biarkan untuk sebentar saja” pintaku.
“n-nona? K-kenapa anda memelukku? Apa ada bagian yang sakit?”
“Kumohon. Izinkan aku meminta darimu untuk terakhir kali ” Aku memeluknya semakin erat.
“M-maksudmu?” tentu saja, dia belum mengingatku. Aku tidak berkata
apa-apa lagi. Gerimis lama-lama berubah menjadi hujan. “N-nona, mungkin
kita harus mencari tempat berteduh lebih dulu” aku menggeleng.
Kulepaskan jaket lalu kupakaikan padanya. Kugenggam tangannya erat
dengan kedua tangan, lalu memberikan Jam saku perak yang kupegang sedari
tadi. “Jika kau melihatku dijalan, atau dimanapun itu, kumohon jangan
disapa. Anggap saja aku tak pernah ada” air mataku bergulir bersama
hujan. Ingin kulepas tanganku darinya lalu bejalan menjauh. Namun, Danu
menahanku.
Dia menarikku kedalam pelukannya. Dia memelukku sangat erat, aku tak bisa melihat wajahnya.
“bukankah sudah kubilang? Kau itu beban hidupku” ucapnya “Tempatmu kembali adalah aku. Mau kemana kau tanpa diriku”
“Kau sudah mengingatnya?”
“Aku selalu mengingatmu” jawabnya. Pelukannya semakin erat “tolong
maafkan egoku. Kupikir jika aku terus seperti ini, setidaknya aku bisa
bersamamu lagi, lagi dan lagi” kami terdiam. Hujan semakin lama semakin
deras.
“Hey” ucapku memecah keheningan “mungkin lebih baik kau lepas pelukanmu sekarang”
“maksudmu?”
“bukankah hari ini kau ada sidang?” Danupun tertawa.
•••
Aku menunggu di ruangan ini bertahun-tahun. Ruangan yang begitu kosong
dan putih. Aku duduk di sebuah sofa yang takkan terlihat kecuali kau
memperhatikannya. Hingga, hari yang ditunggu akhirnya tiba.
Sebuah
pintu terbuka lebar didepanku. Ada seseorang berjalan keluar dari sana.
Aku tersenyum menyambutnya. “Halo” ucapku “sudah lama tidak berjumpa, ya
‘kan? Danu” pria itu tertawa.
“tentu saja” dia membalas senyumku “Siapa yang menduga bahwa kau menukar keberadaanmu agar bisa membawa Lita ketempat ini”
“bagaimana dengan dibawah sana? Kuyakin Renu tak bisa menggantikanku dengan baik” tanyaku basa-basi.
“Kacau balau” ucapnya. Aku kembali tersenyum.
“kau pasti sudah tahu untuk apa aku berada disini, bukan?” tanyaku “Jadi, apa jawabanmu kali ini?”
Danu tersenyum. Dengan yakin dia menjawab : “tidak”
“bagus” ucapku. Danu kemudian memberikan ‘kunci’ itu padaku. Kubukakan
Pintu yang selama ini terkunci darinya. Dia melangkah dengan santai
mendekati pintu itu. Tiba-tiba saja, dia berhenti.
“Hey” ucapnya “ada satu hal yang menggangguku. Wanita yang kulihat saat wisuda itu, siapa?”
Aku tersenyum. “kau tak perlu tahu” [end]