Posted by : Fakhri Senin, 22 Agustus 2016

【Dede Pov】



“Weh, keren gila! Beneran kagak ada lukanya”

“… Udah ya Van, geli ah”

“Bentar, ini beneran lu kena ledakan?”

“Iya. Ah, udah ah! Gak usah diraba gitu, najis tau gak!”

Kudorong jauh tangan Irvan dari tubuhku, lalu memasang kembali bajuku yang sebelumnya kulepas.

“Habisnya badan lu macho and sexy sih, jadinya bikin gua tergiur kan”

“Najis. Maho lu”

Irvan tertawa mendengar cemoohanku.

Aku hanya berharap dia memang bercanda barusan, karena matanya melihatku dengan lapar.

Jujur saja, aku merasa jijik terhadap kalangan yang seperti itu. Bukannya sok filosofis, aku hanya merasa jijik secara pribadi dan menganggapnya salah. Yah, setiap orang memiliki pendapat pribadi bukan?

Aku tidak akan menyalahkan mereka dan memberikan ceramah tentang apa yang salah dan apa yang benar. Jadi, mereka pun seharusnya tidak menyalahkanku dan memberikanku ceramah.

Yang biasa aku lakukan apabila bertemu dengan salah satu dari mereka adalah menutup telinga dan berjalan menjauh. Oleh karena itu, aku mengambil tasku lalu berjalan keluar dari kelas untuk menjauhinya. Tapi si Irvan malah berjalan mengikutiku.

“Kok bisa gak ada lukanya sih?”

“Mana gua tau. Kata dokter sih, katanya gua dilindungin sama semacem lapisan apa gitu, jadi gak kena ledakan secara langsung. Gua mana ngerti yang kayak gituan, jadi anggep aja kayak semacem keajaiban gak jelas”

“Apaan tuh? Keajaiban? Lu ngomong kayak si Andri aja”

Aku menelan ludah sejenak.

“Yah, mau keajaiban atau sihir atau apapun itu, yang penting gua sama yang lainnya selamat tanpa luka. Udah itu aja”

“Yang lainnya juga sama tah?”

Aku menelan ludah lagi.

“Yang lainnya … kecuali si Andri. Dia masih belum keluar dari RS”

“Eh? Si Andri masih belum keluar!?”

Aku berhenti, kami sudah sampai di depan UKS. Kulepas sepatuku lalu menaruhnya di rak sepatu sebelum melangkah naik ke teras.

“Belum. Katanya kondisinya masih kritis atau apa gitu. Gua sih gak pernah ketemu sama dia selama di RS, jadi gak tau”

“Andri? Gua sempet liat”

Heni tiba-tiba menyahut dari dalam UKS.

“Beneran Hen!?”

Tanpa sadar nada suaraku meninggi.

“Iya, dari jauh sih. Pas aku dijemput sama Mamah—Ibu, aku sempet liat sejenak. Dia keliatan baik-baik aja kok, cuman …”

“Cuman?”

“Yang namanya khawatir ya khawatir. Bagaimanapun juga, dia itu satu-satunya yang belum dikeluarkan dari Rumah Sakit diantara kita berlima”

Sebuah suara terdengar dari belakangku.

Suara ini … dengan tata bahasa yang baku ini … sudah pasti …

““Haris!””

Aku dan Irvan berkata bersamaan sambil menoleh kearahnya.

“I, iya, aku Haris”

Ah, sungguh menyilaukan. Senyuman manusia paling populer di sekolah, sungguh menyilaukan!

Heni mengusap matanya sejenak, silau karena melihat senyuman Haris.

“Ada apa Haris, kok kesini?”

“Aku hanya ingin melihat yang lain, bagaimana kabarnya. Kita kan belum sempat saling menyapa sejak keluar dari Rumah Sakit”

“Oh, begitu. Gua gak apa-apa, gak ada masalah apapun. Kalau lu sih Hen?”

Ah, gaya bicaraku tertular Haris.

“Gua juga sama. Cuman … berat badan gua …”

“Napa? Naik tah?”

Si Heni mulai akhirnya mulai gendutan!

“Turun …”

… Lah?

Kalo emang turun, kok mukanya malah cemberut?

Emang aneh, makhluk bernawa cewek tuh. Aku gak pernah ngerti apa yang mereka pikirin.

Setelah terdiam sejenak, Haris mulai berbicara lagi.

“Kalau Putri dimana?”

“Si Mput di dalem, lagi ngurusin yang sakit. Anak kelas 10 jatuh pas main bola, aneh-aneh aja. Lu sih Haris, ada yang aneh gak?”

“… Aku juga sama kok, tidak ada luka yang—“

“AAAH!!”

Putri tiba-tiba berteriak dari dalam.

Aku dan Haris berlari masuk mendengar itu, namun Heni sudah mendahului kami.

“Ada apa Mput!?”

“Putri kenapa Hen!?”

“Jempol kirinya! Jempol kirinya ikut kegunting pas motong perban!”

Setelah mataku menyesuaikan diri dengan cahaya dalam ruangan, aku pun bisa melihatnya dengan jelas. Putri menggenggam jempol kirinya dengan erat dan memejamkan mata, air mata terlihat mengalir dari sana. Di dekatnya, tergeletak gulungan perban dan sebuah gunting yang berlumuran darah di kedua bilahnya.

Jumlah darahnya pun tidaklah sedikit.

“De! Jangan ngelamun, cepet cariin hansaplast di rak!!”

Aku terhentak, lalu menyerogoh rak dengan tergesa-gesa karena belum mengenggam situasi dengan benar.

“Nih Hen!”

“Pegang dulu! Mput, lepas tangannya put! Lepas atau gak nanti infeksi! Ayo! Perihnya cuman sebentar!”

Putri menggeleng dengan sekuat tenaga, sementara Heni memegang tangannya dengan satu tangan, dan sebotol alkohol di tangan satunya.

“Mput!!”

Putri masih menolak.

“Yaudah, gua hitung sampe tiga. Nanti habis dibuka langsung ditutup sama hansaplast biar gak perih. Oke?”

“…”

Putri mengangguk dengan pelan.

“Yaudah. Satu … dua … tiga!”

Heni langsung membuka tangan Putri dengan paksa, lalu menyiramkan alkohol sedetik kemudian. “De, hansaplast!”

Terhentak lagi, aku membuka bungkus hansaplast di tanganku lalu mendekatkanya ke jempol Putri.

Namun, aku terhenti.

“Ada apa De!? Gak keliatan apa lukanya!?”

“Enggak … gak keliatan …”

“Hah!?”

“Lukanya gak ada, jadi buat apa dipakein hansaplast!?”

Karena luka yang dimaksud memang tidak ada. Sama sekali. Kalau gak ada lukanya, buat apa dari tadi ribut-ribut!? Bikin orang tegang aja!

“Apaan sih!? Lukanya jelas ada—“

Heni ikut terdiam, kemudian melirik ke setiap orang di dalam ruangan termasuk aku.

Aku juga tidak mengerti apa yang barusan terjadi! Lihat, bahkan Putri sendiri terlihat kebingungan… Eh?

Tunggu … kalau begitu, bukannya berarti lukanya memang ada!?

“Mu, mungkin … Putri cuman kegores dikit terus dilebay-lebayin gitu kali ya … Ahahaha …”

Suaraku keluar dengan sendirinya. Kesimpulan itu tidak terdengar meyakinkan bahkan bagi diriku sendiri. Tapi, setidaknya aku bisa memecahkan suasana yang tidak enak ini.



Akhirnya, ditetapkan bahwa Putri memang tidak terluka. Dia hanya tergores sedikit kemudian histeris takut bahwa jarinya kenapa-napa. Darah yang berada di gunting merupakan darah si adik kelas. Dan aku tetap memasang hansaplast di jarinya Putri takut kalau jarinya memang terpotong dan lukanya terbuka nanti.

Putri menerima pernyataan itu sepenuhnya, meskipun itu membuatnya menjadi orang yang salah.

Setengah jam kemudian, si adik kelas diantarkan pulang oleh guru piket dengan motor sekolah.

Heni duduk di kasur, mengguraikan rambut hitam sebahunya, kemudian tiduran disana. Aku menyalakan handphoneku lalu membaca komik di website online.

“Gua khawatir sama Andri, udah tiga hari dia masih belum keluar juga”

“Paling gara-gara bapaknya belum jemput”

“Bibi Eli juga sibuk terus sama hotelnya … jadi dia gak ada yang jemput …”

Putri mengelus-elus jempolnya yang dibalut dengan hansaplast saat mengatakan itu, sepertinya dia masih memikirkan kejadian tadi siang.

“Mput”

Heni mengingatkan, Putri pun menghentikan tangannya.

“Walaupun sibuk, bukan berarti boleh ninggalin anaknya di Rumah Sakit. Orang tua macem apa yang lebih peduli ke pekerjaan daripada anaknya sendiri!?”

“Kalo kangen bilang aja Hen, gak usah tsundere gitu”

“Siapa yang tsundere!?”

『Buk!』

Sebuah bantal melayang ke arahku.

“Mungkin karena Andri tersengat listrik secara langsung. Bagaimanapun juga, dia berada di posisi paling berbahaya diantara kita berlima”

Sebuah suara terdengar dari pojok ruangan.

Suara ini …

““Haris!!””

Aku dan Heni berkata bersamaan.

“I, iya, aku Haris”

Haris kemudian memasang senyum sejuta wattnya lagi.

Aku pun berpaling ke handphoneku lagi.

“Haris, maksudnya posisi paling berbahaya tuh apa?”

Haris terdiam sejenak. Belakangan ini dia selalu terdiam sebentar setiap kali dipanggil atau ditanya.

“Menurut kalian, kira-kira kenapa waktu itu terjadi ledakan?”

“Yah, itu gara-gara alatnya udah rusak, jadi meledak begitu—Aaw!”

『Tuk!』

Kali ini sebuah pulpen yang melayang, lagi-lagi Heni yang melemparnya.

“Kayak iya aja alat begituan bisa meledak. Paling parah ya bikin konslet terus kebakaran, gak mungkin meledak”

“Ya gak usah ngelempar barang juga dong!”

Aku mengambil pulpen yang dia lempar, lalu melemparkannya kembali.

Sialan, pulpennya jatuh ke lantai.

“Kalau begitu, bagaimana bisa alat itu meledak? Kalau menurut aku, itu karena alatnya berdebu”

“Berdebu?”

Suara Putri terdengar serak.

“Konsepnya sama seperti ledakan dalam tambang. Alat itu yang sudah lama tersimpan di gudang menimbun banyak debu besi sampai ke dalam mesinnya. Lalu, ketika kita mencoba untuk mencabutnya dari dalam socket, kemungkinan besar debu-debu yang terkumpul itu tersebar sampai luar lalu—“

“Ah!”

Aku menepuk tangan, semua mata langsung mengarah padaku.

“Ledakan debu! Itu loh Hen, yang dipake Accelerator pas ngelawan Touma. Dia kan ngebuat ledakan debu, masa lupa?”

“Itu kan Anime, emangnya beneran bisa?”

“Lah, kita kan buktinya!”

Heni masih terlihat bingung. Ah, aku lupa kalau cewek ini terlalu lamban kalau diajak bicara.

“Jadi, makanya lu bilang si Andri tuh ada di posisi paling bahaya …”

“Iya, sebab dia ada di pusat ledakan. Mungkin karena itu, dia harus berada di Rumah Sakit lebih lama dari kita”

Lebih lama di rumah sakit ya? Ah, sebuah ide gila terlintas di kepalaju.

Aku menepuk tanganku lagi.

“Atau mungkin aja dia dijadiin objek penelitian pemerintah!”

“Ya gak mungkinlah bego!”

Heni melempar bantal lagi. Kali ini, aku berhasil menangkapnya secara sempurna, dengan mukaku.

Yup, bantal itu mendarat di wajahku.

“Pfft, ahahahahaha!”

Suara tawa Putri terdengar lepas, aku lihat dia memegangi perutnya. Tak lama kemudian Heni juga ikut tertawa, disusul dengan Haris. Akupun ikut tertular.

Kami tertawa puas sore itu.

Tanpa kusadari, suara tawa Putri sudah berganti dengan isakan kecil. Dia mengusap air mata yang mengalir jatuh dari mata kirinya, kemudian menutup mulutnya dengan tangan yang sama. Putri lalu mulai menangis bersedu-sedu.

Mungkin, emosi yang dia pendam sejak tadi akhirnya keluar secara bersamaan.

Heni turun kasurnya untuk memeluk Putri, Putri membalas pelukannya. Sedangkan aku hanya bisa duduk terdiam disini.

“Gak papa Mput, nangis aja, gak usah ditahan”

Isakan Putri terdengar memenuhi ruangan UKS, bersamaan dengan suara detik jarum jam.

Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan di saat seperti ini, oleh karena itu aku memilih untuk diam saja membiarkan Putri menangis. Begitu pula dengan Haris, begitu pula dengan Heni.

Setelah emosi Putri mereda, Haris terlihat berjalan mendekati Putri, tapi dia malah menepuk bahu Heni.

“Heni, nanti kita berlima pergi menjenguk Andri yuk”

Heni melepaskan pelukannya, aku baru sadar kalau dia juga ternyata menangis.

“Yuk atuh. Si idiot itu pasti mati kesepian sekarang, harus ditemenin atau gak bakal beneran mati dia”

“Emangnya kamu pikir Andri itu kelinci apa?”

Putri dan Heni tertawa lagi.

Bersyukurlah kamu Andri, disini ada dua cewek yang khawatir setengah mati. Yah, kalau gak ada dia emang rasanya kurang lengkap.

Hm? Lengkap?

Kalau dipikir-pikir lagi, kayaknya ada yang kurang sejak awal …

Oh, iya.

“Ngomong-ngomong, si Risti mana? Gak keliatan dari tadi”

“Oh, si Risti tadi siang nelpon aku, katanya dia pengen ganti kaca mata”

“Gitu toh…”

Minus matanya nambah lagi ya tuh anak.

{ 1 komentar... read them below or add one }

Welcome to My Blog

Popular Post

Chatango

Kontributor

Mabo and Gibo. Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Mabo and Gibo -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -