Posted by : Fakhri Minggu, 26 April 2015

Angin malam terasa menusuk pori-pori kulit, terpaksa kueratkan lagi pelukanku. Dingin. Aku melihat ke sekeliling, hanya ada kardus bekas yang kini menjadi alasku membaringkan tubuh. Sekarang, kemana aku akan pulang? Ibu, kenapa engkau pergi? Malam itu, aku terlelap dengan air mata yang berlinang.

Pagi belum terang, namun aku harus segera pergi dari tempat ini. Tak ada apapun yang bisa kubawa, hanya sehelai tipis pakaian dan sisa-sisa tangis semalam. Sekarang, aku berjalan tanpa arah. Masuk keluar gang-gang sempit. Pasar-pasar. Orang-orang yang lalu lalang. Siang berganti malam. Kemana aku melangkah? Aku sudah tak memiliki tujuan.

Lapar. Aku sangat, lapar. Kapan terakhir kali aku merasakan makanan? Aku tak bisa mengingatnya. Mulutku sudah kering sejak lama. Aku kini tak bisa merasakan apa-apa. Ibu, apa aku akan menyusulmu? Ah, mungkin lebih baik seperti itu. Lagi pula aku sudah bosan dengan mata-mata itu, mata-mata ‘meremehkan’ itu.

Pandanganku semakin kabur. Ujung-ujung pandanganku menggelap. Aku menggigil. Dingin. Sangat, dingin. Derap langkah kaki terdengar.

“Hey, kau tidak apa-apa? HEY!” Siapa disana? Aku tak bisa melihatnya. Orang itu terus mendekat. “Hey, bertahanlah!” Siapa kau? Aku tak tahu, mataku menggelap. “Al, cepat am –“

Hening.

Gelap.

Mati.

Tunggu, perasaan ini, hangat.

Tubuhku terasa hangat. Aku membuka mataku. Ini, dimana? Kenapa aku berada di atas kasur? Tangan kiriku terasa perih, ada selang putih yang menjulur masuk. Dimana aku? Aku tak bisa bergerak.

“Ooh, kau sudah bangun!” terdengar suara. Sepertinya aku kenal suara itu. Aku ingin melihatnya, siapa disana?

Sebuah rambut muncul, disusul dengan wajahnya. Orang itu ternyata masih kecil. Seorang anak laki-laki. Dia menatapku, aku menatapnya. Dia sedikit lebih tua dariku. Waktupun berlalu dengan cepat. Anak itu seringkali main ke kamarku. Dia menceritakan banyak hal. Aku tidak peduli.

“Hey, kau belum memberi tahuku namamu” ucap anak itu. Aku hanya diam. “Kalau kau tak mau bicara, biar aku yang memberimu nama” aku masih diam. “Baiklah. Akan kupanggil kau ‘Windy’. Karena aku menemukanmu di hari yang berangin (windy day)” aku langsung memalingkan wajahku. Enak saja diberi nama seperti itu, aku juga punya nama tahu!

Anak itu tertawa. Dia tertawa begitu lepas, hingga memegangi perutnya dalam-dalam. Sedangkan aku, aku tercengang. Wajahnya terlihat begitu cerah, aku baru saja menyadarinya. Kini, tujuan hidupku sudah kembali; untuk terus mempertahankan senyum di wajahnya.

•••

“ –dis, Gladis!” Teriakan itu memecah lamunanku.

“Y-ya!” Aku memalingkan wajah, lalu berlari mendekati sumber suara. Aku pasti akan dimarahi lagi.

Benar saja, aku dimarahi habis-habisan. “Jangan pikir karena kau dekat dengan tuan muda, kau boleh seenaknya saja. Mengerti?” ucapnya. Maaf saja, itu bukan salahku, itu salahnya! Karena dia selalu memanggilku ‘Windy-Windy’, sampai aku hampir lupa nama sendiri. Lain kali, tak akan kumpuni dia!

Tapi, belakangan ini ada yang aneh dengan Adrian. Selama dua hari berturut-turut dia pulang dengan keadaan mabuk berat. Setahuku, dia tak kuat minum alkohol. Kira-kira apa yang terjadi sehingga dia seperti itu? Dia juga sudah lama tak terlihat bersama tunangannya, Tiara. Jangan-jangan mereka bertengkar.

Kuambil celana jeans Adrian dari tempat baju-baju kotor. Ada sebuah kertas terselip di kantungnya. Lebih baik kuambil lalu kulihat isinya, bisa gawat kalau kertas ini basah. Kubuka lipatan kertas, isinya kubaca dari yang paling atas. Ini sebuah surat dari Rumah Sakit. Coba kulihat.

‘Tiara Putri Kartika’ Tiara? Tunangannya Adrian? Kubaca terus surat itu.

Golongan Darah.

Beberapa hal yang aku tidak mengerti. Tunggu, apa ini?

‘Kanker Hati’ Tidak mungkin. Tiara yang itu? Lalu, apa yang membuat Adrian stress begitu berat? Jangan-jangan … Oh, tidak! Aku harus segera mencari Adrian. Kutinggalkan cucian lalu berlari keluar rumah. Tak peduli dengan teriakan wanita galak itu.

“ADRIAN!” panggilku. Aku berlari kesana-kemari, berharap dapat menemukan Adrian sebelum apa-apa terjadi. Adrian, dimana kau? Aku terus mencarinya kemana-mana. Hingga sosoknya terlihat di pandanganku. “ADRIAN!” panggilku lagi. Dia menengok. Aku tersenyum, syukurlah dia tidak apa-apa.

Tak lama kemudian, senyumku berubah. Sebuah mobil sedan ternyata sudah berada di belakangnya. Adrian tertabrak.

•••

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Popular Post

Chatango

Kontributor

Mabo and Gibo. Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Mabo and Gibo -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -